HAMAS Menipu Umat !!!

27 02 2009

new1a

Oleh:   Abu Shofiyah

Telah kita ketahui bersama bahwa akibat serangan brutal Israel ke daerah Gaza pada awal Muharram 1430 atau akhir Desember 2008 selama 3 pekan itu telah merenggut lebih dari 1.300 jiwa korban meninggal -semoga Alloh merahmati dan mengampuni mereka semua- kaum muslimin baik dari kalangan anak-anak, wanita, para pemuda dan orang tua yang kebanyakan dari mereka adalah BUKAN anggota HAMAS!!!

Baca entri selengkapnya »





Definisi Iman

20 01 2009

new1a

Oleh: al-Ustadz  Abu Muawiah

Definisi Iman

Iman secara etimologi bermakna pembenaran yang bersifat khusus, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala, “Dan tidaklah engkau akan beriman (membenarkan) kami walaupun kami adalah orang-orang yang jujur.” (QS. Yusuf: 17)
Ucapan kami ‘yang bersifat khusus’ maknanya adalah pembenaran yang sempurna dengan hati, yang melazimkan lahirnya amalan-amalan hati dan anggota tubuh. Hal ini disebutkan oleh Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dalam Syarh Al-Arbaun dan Asy-Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi dalam Syarh Ath-Thahawiah.
Adapun secara terminologi, maka iman adalah: (1)Pengucapan dengan lisan, (2)keyakinan dengan hati, (3)pengamalan dengan anggota tubuh, (4)bertambah dengan melaksanaan ketaatan dan (5)berkurang dengan melaksanakan kemaksiatan. Inilah definisi iman di sisi para ulama kaum muslimin. Inilah kelima syarat atau rukun keimanan
Berikut penjelasan ringkas dari lima perkara di atas:

Baca entri selengkapnya »





MENUJU KEMENANGAN DAN KEJAYAAN KAUM MUSLIMIN

17 01 2009

new1a

Bingkisan Untuk Kaum Muslimin Palestina

Nasehat Emas dari Dua Mujaddid Besar Masa Ini

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani
dalam risalahnya Fiqhul Waqi’ hal 48-50 menjelaskan :

“Sesungguhnya sebab mendasar kehinaan kaum muslimin ialah :

a. Kebodohan mereka tentang syari’at Islam yang Allah turunkan kepada hati Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam .

b. Mayoritas kaum muslimin telah mengetahui hukum-hukum Islam dalam sebagian urusan mereka, namun mereka tidak mau mengamalkan

Dengan demikian, kunci kembalinya kemuliaan Islam ialah dengan mempraktekkan ilmu yang bermanfaat dan mengerjakan amal shalih. Ini adalah masalah besar yang tidak mungkin dicapai oleh kaum muslimin melainkan dengan menerapkan manhaj At-Tashfiyyah (pembersihan) dan At-Tarbiyyah (pendidikan). Dua hal ini adalah dua kewajiban yang sangat penting dan sangat agung kedudukannya.

Baca entri selengkapnya »





Setiap Bid’ah Sesat dan Setiap Kesesatan di Neraka..!!

16 01 2009

new1a

Karya:
‘Abdul Qayyum bin Muhammad bin Nashir As-Sahaibaniy

Sesungguhnya, salah satu ujian terbesar ummat Islam dewasa ini adalah permasalahan “Bid’ah” (yaitu ungkapan dari “suatu jalan/cara dalam agama yang diada-adakan (tanpa dalil) yang menyerupai syari’ah yang bertujuan dengan melakukannya adalah berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala”, lihat Mukhtashar Al-I’tisham hal.7, -pent.), bahkan hal ini telah menyebar ke berbagai negara Islam. Jarang sekali kita jumpai suatu tempat yang di situ terlepas dari masalah bid’ah dan sangat sedikit manusia yang selamat darinya. Perkara bid’ah merupakan masalah yang besar, sangat berbahaya, dan termasuk “pos”nya kekufuran. Pelaku bid’ah telah mencabut hukum Allah, karena itu dia tidak mau berusaha untuk taubat (tidak diberi pertolongan untuk bertaubat).

Berkata ‘Abdullah bin ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhu: “Sesungguhnya perkara-perkara yang paling dibenci oleh Allah adalah bid’ah-bid’ah.” (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubra 4/316)

Baca entri selengkapnya »





GOLPUT HARAM…???

14 01 2009

TEMUKAN JAWABANNYA DISINI…..

new1a

Apakah Demokrasi dan Pemilu adalah Solusi? Temukan Jawabannya di sini

Dicopas dari milis an-nashihah





Toleransi Para Hizbiyyun

13 01 2009

new1a

Oleh: Al Ustadz Muhammad Umar as Sewed

Toleransi Ekstrim
Di era globalisasi ini toleransi cenderung ekstrim. Manusia tidak begitu memperhatikan masalah yang bersifat prinsip (menurut agama). Akhirnya dengan alasan toleransi mereka meruntuhkan al wala’ wal bara’. Padahal masalah cinta dan benci ini merupakan prinsip dasar agama Islam.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah menjelaskan prinsip ini dalam ucapan Beliau : “Barangsiapa yang cinta karena Allah, benci karena Allah, memberi karena Allah dan tidak memberi karena Allah, maka ia telah menyempurnakan keimanannya.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah no. 380)

Baca entri selengkapnya »





Kitab Fadha`il Al-A’mal dalam Timbangan As-Sunnah

12 01 2009

new1a

Penulis: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi

Bagi yang mengenal Jamaah Tabligh, kelompok yang ‘berdakwah’ keliling dari masjid ke masjid, besar kemungkinan akan mengetahui Kitab Fadha`il Al-A’mal, buku wajib yang dipegangi dan dijadikan rujukan kelompok tersebut dalam ‘berdakwah’. Bagi para ‘pendakwah’ mereka ataupun orang-orang yang ‘berlatih dakwah’ bersamanya, kedudukan kitab itu di sisi mereka setara dengan Kitab Shahih (Al-Bukhari Muslim).

Membicarakan Fadha`il Al-A’mal, kitab yang ditulis Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi, tentu tidak bisa dilepaskan dari pembahasan sebuah kelompok shufiyyah yang para pengikutnya kini semakin menjamur di berbagai negara, termasuk Indonesia. Kelompok inilah yang dikenal dengan nama Jamaah Tabligh. Adanya hubungan yang erat di antara keduanya karena Jamaah Tabligh menjadikan kitab ini sebagai salah satu sandaran dalam mengamalkan rutinitas harian mereka, baik dibaca di beberapa waktu sehabis shalat fardhu atau menjadikannya sebagai ta’lim akhir malam sebelum tidur, tergantung kesempatan yang diberikan masjid setempat. Atau tergantung waktu yang memungkinkan bagi mereka untuk melakukannya secara rutin. Hal ini menunjukkan demikian pentingnya peranan kitab ini dalam membentuk fikrah dan akidah seorang tablighi (pengikut Jamaah Tabligh -red). Sebab, apa yang mereka dengarkan tentunya akan diupayakan untuk diwujudkan menjadi suatu amalan dalam berislam.

Sehingga kami memandang perlu untuk menjelaskan kepada umat tentang kedudukan kitab ini berdasarkan timbangan As-Sunnah dan memperingatkan mereka dari berbagai kesalahan dan penyimpangan yang terdapat dalam pembahasannya.

Secara umum, kitab ini banyak memuat hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lemah, palsu, bahkan tidak ada asalnya, dan banyak penukilan perkataan kaum shufi yang jika seseorang meyakini hal tersebut, dapat menjerumuskannya kepada kesesatan dan penyimpangan. Wal ‘iyadzu billah.

Asy-Syaikh Hamud bin Abdullah At-Tuwaijiri rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Qaulul Baligh Fit Tahdzir Min Jama’ah At-Tabligh (hal. 11-12):

“Kitab terpenting bagi orang yang menjadi tablighiyyin adalah kitab Tablighi Nishab (Fadha`il Al-A’mal), yang ditulis salah seorang pemimpin mereka bernama Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi. Dan mereka memiliki perhatian demikian besar terhadap kitab ini dan mengagungkannya sebagaimana Ahlus Sunnah mengagungkan kitab Shahih (Al-Bukhari dan Muslim), dan kitab-kitab hadits lainnya. Para tablighiyyin telah menjadikan kitab kecil ini sebagai sandaran dan referensi baik bagi orang India, maupun bangsa ‘ajam (non Arab) lainnya yang mengikuti ajaran mereka. Dalam kitab ini termuat berbagai kesyirikan, bid’ah khurafat, serta banyak sekali hadits-hadits palsu dan lemah. Maka hakekatnya, ini merupakan kitab jahat, sesat, dan fitnah. Kaum tablighiyyin telah menjadikannya sebagai referensi untuk menyebarkan bid’ah dan kesesatannya, melariskan serta menghiasinya di hadapan kaum muslimin awam, sehingga mereka lebih sesat jalannya dari hewan ternak.”1

Adapun secara rinci, maka pembahasan kami bagi menjadi beberapa sub bahasan:

Pertama: Al-Kandahlawi dan Takhrij Haditsnya

Sebagaimana yang telah kita sebutkan bahwa kitab ini banyak memuat hadits-hadits lemah, mungkar, palsu, bahkan tidak ada asalnya. Terkadang sebagian riwayat tersebut diketahui penulisnya. Namun sangat disayangkan, takhrij hadits itu tidak diterjemahkan ke dalam bahasanya, di mana kitab ini ditulis dalam bahasa Urdu (salah satu bahasa resmi di Asia Selatan, red.), kemudian dibaca mayoritas kaum muslimin yang tidak mengerti bahasa Arab. Mereka pun menganggap baik kitab ini dan menyangka bahwa semuanya boleh dijadi-kan sebagai hujjah. Selanjutnya mereka membaca lalu menjadikannya sebagai keyakinan. Maka terjerumuslah mereka dalam penyimpangan dan kesesatan. Demikian pula ketika kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Malaysia, tidak diterjemahkan takhrij haditsnya. Ini menyebabkan para tablighi dan simpatisannya membaca kitab tersebut tanpa membedakan antara hadits-hadits yang bisa diterima dan yang tertolak. Berikut ini akan kami sebutkan beberapa contoh tentang apa yang kami sebutkan:

1. Disebutkan dalam kitab Fadha`il Al-A’mal, bab Fadhilah Adz-Dzikr2 hadits dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَمَّا أَذْنَبَ آدَمُ الذَّنْبَ الَّذِي أَذْنَبَهُ، رَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ: أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ. فَقَالَ: تَبَارَكَ اسْمُكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي رَفَعْتُ رَأْسِي إِلَى عَرْشِكَ فَإِذَا فِيْهِ مَكْتُوبٌ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ، فَعَلِمْتُ أَنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَعْظَمَ عِنْدَكَ قَدْرًا عَمَّنْ جَعَلْتَ اسْمَهُ مَعَ اسْمِكَ. فَأَوْحَى اللهُ إِلَيْهِ: يَا آدَمُ إِنَّهُ آخِرُ النَّبِيِّيْنَ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ وَلَوْ لاَ هُوَ مَا خَلَقْتُكَ(3)

Ketika Adam telah berbuat dosa, ia pun mengangkat kepalanya ke atas langit kemudian berdoa: “Aku meminta kepada-Mu berkat wasilah Muhammad, ampunilah dosaku.” Maka Allah berfirman kepadanya: “Siapakah Muhammad (yang engkau maksud)?” Maka Adam menjawab: “Maha berkah nama-Mu ketika engkau menciptakan aku, akupun mengangkat kepalaku melihat Arsy-Mu, dan ternyata di situ tertulis: Laa ilaaha illallah Muhammadun Rasulullah. Maka akupun mengetahui bahwa tidak seorang pun yang lebih agung kedudukannya di sisi-Mu dari orang yang telah engkau jadikan namanya bersama dengan nama-Mu.” Maka Allah berfirman kepadanya: “Wahai Adam, sesungguhnya dia adalah Nabi terakhir dari keturunanmu, kalaulah bukan karena dia, niscaya Aku tidak akan menciptakanmu.”

Hadits ini diterjemahkan begitu saja tanpa menerjemahkan takhrij hadits yang disebutkan Al-Kandahlawi. Dia berkata setelah itu: “Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Ash-Shaghir, Al-Hakim, Abu Nu’aim, Al-Baihaqi yang keduanya dalam kitab Ad-Dala`il, Ibnu ‘Asakir dalam Ad-Durr, dan dalam Majma’ Az-Zawa`id (disebutkan): Diriwayatkan Ath-Thabrani dalam Al-Ausath dan Ash-Shaghir, dan dalam (sanad)-nya ada yang tidak aku kenal. Aku berkata: Dan dikuatkan yang lainnya berupa hadits yang masyhur: “Kalau bukan karena engkau, aku tidak menciptakan jagad raya ini”, Al-Qari berkata dalam Al-Maudhu’at: “Hadits ini palsu.”

Cobalah pembaca perhatikan. Hadits ini pada hakekatnya telah diketahui oleh penulisnya sebagai hadits yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, bahkan tidak dikuatkan dengan adanya jalan (sanad) lain. Namun ucapan ini tidak diterjemahkan, sehingga para pembaca kitab ini menyangka bahwa hadits ini termasuk hadits yang bisa diamalkan. Rincian kedudukan hadits ini bisa dilihat dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah (1/25) dan kitab At-Tawassul mulai hal. 105, dst. Kedua kitab tersebut karya Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, di mana beliau menghukumi hadits tersebut sebagai hadits palsu.

2. Disebutkan pula dalam kitab tersebut, pada bab yang sama4, hadits dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan bersedih. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Mengapa aku melihatmu bersedih?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, semalam aku berada di sisi anak pamanku, si fulan yang telah meninggal dunia.” Maka Rasul bertanya, “Apakah engkau mentalqinnya dengan Laa ilaaha illallah?” Ia menjawab, “Telah kulakukan, wahai Rasulullah.” Beliau bertanya, “Ia mengucapkannya?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Telah wajib baginya surga.” Abu Bakar bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika orang yang masih hidup mengucapkan kalimat itu?” Beliau bersabda, “Kalimat itu merontokkan dosa-dosa mereka. Kalimat itu merontokkan dosa-dosa mereka.”

Hadits ini pun disebutkan tanpa diterjemahkan takhrijnya, padahal Al-Kandahlawi mengomentari hadits tersebut dengan mengatakan: “Diriwayatkan Abu Ya’la, dalam sanadnya terdapat Za`idah bin Abi Raqqad, ditsiqahkan (dianggap terpercaya, red.) oleh Al-Qawariri, namun dilemahkan Al-Imam Al-Bukhari dan yang lainnya5. Demikian yang terdapat dalam Majma’ Az-Zawa`id6.”

Perkataan ini tertulis dalam bahasa Arab, sehingga tidak pernah dibaca para pembacanya.

3. Disebutkan pula pada bab yang sama7 hadits Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ أَحَدًا صَمَدًا لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

maka Allah akan menuliskan baginya 2.000.000 kebaikan.”

Hadits ini diterjemahkan pula maknanya tanpa menerjemahkan komentarnya yang mengatakan: “Diriwayatkan At-Thabrani, demikian dalam At-Targhib dan Majma’ Az-Zawa`id. Dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Faid Abul Warqa, ia ditinggalkan haditsnya (matruk).”

Dan hal yang seperti ini sangat banyak kita dapatkan dalam kitab ini.

Kedua: Hadits Lemah, Palsu dan bahkan Tidak Ada Asalnya

Di samping poin pertama yang kami sebutkan, di dalam kitab ini pun banyak sekali termuat hadits-hadits yang lemah, palsu, bahkan tidak ada asalnya dalam kitab-kitab sunnah, tanpa ada komentar sedikit pun. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang umatnya untuk meriwayatkan satu ucapan kemudian menisbahkannya kepada beliau tanpa ada penelitian tentang kebenaran riwayat tersebut, atau menukilkan pendapat para ulama yang dijadikan sebagai sandaran dalam menghukumi suatu riwayat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya, diriwayatkan lebih dari seratus shahabat radhiyallahu ‘anhum)

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang dianggap berdusta dengan mengatakan segala yang didengarnya.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya)

Disebutkan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah ketika beliau menyebutkan beberapa hal yang menjadi kritikan atas Jamaah Tabligh: “Membacakan hadits-hadits yang lemah, palsu, dan tidak ada asalnya. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Hindarilah banyak memberitakan hadits dariku. Maka barangsiapa yang menisbahkan kepadaku, maka hendaklah mengucapkan kebenaran atau kejujuran. Barangsiapa mengada-ada sesuatu atasku yang aku tidak ucapkan, maka hendaklah dia persiapkan tempat duduknya dalam neraka’. (HR. Al-Imam Ahmad, dari hadits Abu Qatadah)8

Dan berikut ini akan kami sebutkan pula beberapa contoh tentang hal ini:

1. Disebutkan dalam bab Fadhilah Shalat, hal. 288, hadits yang berbunyi:

“Shalat akan membuat mulut setan menjadi hitam dan akan mematahkan punggungnya.” (Jami’us Shaghir)

Dalam kitab Al-Jami’ush Shagir berbunyi demikian, yang artinya: “Shalat itu menghitamkan wajah setan, dan sedekah itu akan mematahkan punggungnya.” Hadits ini merupakan hadits yang sangat lemah. Karena dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Abdullah bin Muhammad bin Wahb Al-Hafizh. Ad-Daruquthni berkata tentangnya: “Matruk (ditinggalkan haditsnya).” Dan ada perawi lain bernama Zafir bin Sulaiman. Adz-Dzahabi berkata tentang dia: “Lemah sekali.” Dan hadits ini sangat dilemahkan oleh Al-Albani dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 3560.

2. Disebutkan dalam bab Fadhilah Adz-Dzikr hal. 432, ia berkata: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Berpikir sesaat lebih baik daripada beribadah enam puluh tahun.”

Padahal hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana telah diterangkan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, 1/173. Adapun riwayat yang shahih, dengan lafadz:

لَقِيَامُ رَجُلٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ سَاعَةً أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةٍ سِتِّيْنَ سَنَةً

“Berdirinya seseorang di jalan Allah sesaat lebih afdhal dari beribadah selama enam puluh tahun.” Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 4/1901.

3. Demikian pula yang disebutkan dalam bab Fadhilah Al-Qur`an, hal. 644, bahwa barangsiapa mengkhatamkan Al-Qur`an di siang hari, maka malaikat akan mendoakannya hingga malam hari, dan barangsiapa yang menamatkannya di awal malam, maka para malaikat mendoakan-nya hingga pagi hari.

Padahal hadits inipun lemah, sebagaimana telah diterangkan Al-’Allamah Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, 10/4591.

Ketiga: Membawa Pemahaman Kaum Shufiyyah

Kitab ini banyak sekali menukil afkar (pemikiran) kaum Shufiyyah yang dapat menjerumuskan kaum muslimin ke dalam berbagai penyimpangan yakni kerusakan aqidah, sikap ekstrim dalam beribadah, dan semisalnya. Oleh karenanya, sangatlah wajar jika kitab ini menjadi buku pegangan seorang tablighi, dikarenakan Jamaah Tabligh merupakan kelompok yang dibangun di atas empat tarekat shufiyyah: Naqsyabandiyyah, Jusytiyyah, Sahrawardiyyah, dan Qadiriyyah.9

Berikut ini, akan kami nukilkan pula beberapa perkataan yang dinukilkan dari kaum Shufiyyah:

Disebutkan pada bab Fadhilah Shalat, hal. 316-317, Al-Kandahlawi berkata: Asy-Syaikh Abdul Wahid rah. a10, seorang sufi yang masyhur, mengatakan bahwa pada suatu hari beliau didatangi rasa kantuk yang luar biasa, sehingga beliau tertidur sebelum menyelesaikan dzikir malam itu. Di dalam mimpinya beliau melihat seorang gadis berpakaian sutera hijau yang amat cantik sementara seluruh tubuh hingga kakinya sibuk berdzikir. Gadis tersebut bertanya kepada beliau, adakah keinginan beliau untuk memilikinya? Dia mencintai beliau, kemudian dibacanya beberapa bait syair. Setelah bangun dari tidurnya, beliau bersumpah bahwa beliau tidak akan tidur pada malam hari. Diriwayatkan bahwa selama 40 tahun beliau shalat shubuh dengan wudhu shalat ‘Isya.

Dalam kisah ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

Pertama: Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang kita untuk berbuat ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beribadah, dan memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya sesuai dengan kemampuan. Sehingga, agama ini menghendaki agar seorang muslim mengerjakan ibadah tersebut dalam keadaan nasyath (giat), sehingga mampu mengerjakan ibadah tersebut dalam keadaan khusyu’ dan sesempurna mungkin. Dan apabila ia dalam keadaan mengantuk, maka dianjurkan baginya beristirahat hingga rasa kantuk tersebut hilang.

Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki masjid, ternyata ada sebuah tali yang terbentang di antara dua tiang, lalu beliau bertanya, “Tali apa ini?” Mereka menjawab, “Tali ini milik Zainab11, jika ia lesu (berdiri untuk shalat), diapun bergantung dengannya.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Lepaskan (tali) itu. Hendaklah salah seorang kalian shalat di saat giatnya. Jika ia lesu, maka hendaklah ia tidur.”

Demikian pula yang diriwayatkan dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لاَ يَدْرِي لَعَلَّهُ يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ

“Jika salah seorang kalian dalam keadaan mengantuk, sementara dia shalat. Maka hendaklah ia tidur sampai hilang rasa kantuknya. Karena sesungguhnya jika salah seorang kalian shalat dalam keadaan mengantuk, dia tidak mengetahui. Jangan sampai dia hendak beristighfar lalu tanpa sadar ia mencerca dirinya sendiri.” (Muttafaq ‘Alaihi)

Kedua: Bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan di antara petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melaksanakan shalat malam adalah apa yang beliau sebutkan dalam haditsnya, yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَكَانَ يَصُوْمُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا، وَأَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللهِ صَلاَةُ دَاوُدَ كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُوْمُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ

“Puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Dawud ‘alaihissalam. Beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari. Dan shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Dawud p, beliau tidur di pertengahan malam, bangun di sepertiga malam, dan tidur seperenam malam.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Disebutkan pula dalam kitab ini, hal. 484 dari Syaikh Waliullah yang berkata dalam kitab Qaulul Jamil: “Ayah saya telah berkata bahwa ketika saya baru belajar suluk, dalam satu nafas dianjurkan supaya membaca Laa ilaaha illallah sebanyak dua ratus kali,” Syaikh Abu Yazid Qurtubhi berkata: “Saya mendengar bahwa barang-siapa membaca kalimat Laa ilaaha illallah sebanyak 70.000 kali, ia akan terbebas dari api neraka. Setelah mendengar hal itu, saya membaca untuk istri saya sesuai dengan nishab12 tersebut. Tidak lupa, saya juga membaca untuk nishab diri saya sendiri. Di dekat saya, tinggal seorang pemuda yang terkenal sebagai ahli kasyaf13. Dia juga kasyaf tentang surga dan neraka. Namun saya agak meragukan kebenarannya. Pada suatu ketika, pemuda tersebut ikut makan bersama kami. Tiba-tiba ia berkata dan meminta kepada saya sambil berteriak, katanya: “Ibu saya masuk neraka, dan telah saya saksikan keadaannya.” Karena melihat kegelisahan pemuda tersebut, saya berpikir untuk membacakan baginya satu nishab bacaan saya untuk menyelamatkan ibunya, di samping juga untuk mengetahui kebenaran mengenai kasyaf-nya. Maka, saya membacanya sebanyak 70.000 kali sebagai nishab yang saya baca untuk diri saya itu, guna saya hadiahkan kepada ibunya. Saya meyakini dalam hati bahwa ibunya pasti selamat. Tidak ada yang mendengar niat saya ini kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Setelah beberapa waktu, pemuda tersebut berteriak, “Wahai paman, wahai paman, ibu saya telah bebas dari api neraka.” Dari pengalaman itu, saya memperoleh dua manfaat: Pertama, saya menjadi yakin tentang keutamaan membaca Laa ilaaha illallah sebanyak 70.000 kali, karena sudah terbukti kebenarannya. Kedua, saya menjadi yakin bahwa pemuda tersebut benar-benar seorang ahli kasyaf.”

Cobalah perhatikan kisah ini. Jika seorang muslim membaca dan meyakini cerita khurafat ini, maka dia akan terjatuh ke dalam berbagai penyimpangan, di antaranya:

 Menetapkan wirid tertentu dengan bilangan yang telah ditetapkan, lalu menyebutkan keutamaannya, yang semuanya tidak bersumber dari pembawa syariat: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini jelas merupakan bid’ah yang jahat dan menyesatkan. (silahkan baca kembali Majalah Asy-Syari’ah Vol. I/No. 07/1425 H/2004, Bid’ahnya Dzikir Berjamaah)

 Apa yang disebut sebagai ahli kasyaf adalah dusta belaka. Karena tidak seorang pun yang dapat mengetahui nasib seseorang di akhirat, apakah dia pasti masuk ke dalam surga ataukah neraka, kecuali yang dikabarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba yang dikehendaki-Nya dari kalangan para rasul-Nya. Firman-Nya:

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلىَ غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُوْلٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا

“(Dialah) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (Al-Jin: 26-27)

Dan penukilan-penukilan yang seperti ini banyak sekali terdapat dalam kitab Fadha`il Al-A’mal, karya Muhammad Zakaria tersebut. Sehingga, hendaklah kaum muslimin berhati-hati dari kitab ini, dan mencari kitab-kitab yang jauh lebih selamat, yang bisa mengantarkan seseorang untuk mengamalkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti kitab Shahih Al-Bukhari pada kitab Ar-Raqa‘iq, Al-Adab, dan yang semisalnya. Demikian pula Shahih Muslim pada kitab Ad-Dzikr dan Al-Bir Wash-Shilah Wal-Adab, dan kitab-kitab sunnah yang lainnya. Atau seperti Riyadhus Shalihin, karya Al-Imam An-Nawawi, Al-Kalim Ath-Thayyib, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah14, dan masih banyak lagi kitab-kitab sunnah yang jauh lebih baik dan selamat dari berbagai penyimpangan.

Wallahu a’lam.

1 Al-Qaulul Baligh, hal. 11-12
2 Hal. 497, versi Bahasa Indonesia, terbitan Ash-Shaff, Yogyakarta, Sya’ban tahun 1421 H.
3 Dalam cetakan tersebut terdapat kekurangan dalam penukilan lafadz Arabnya, maka disempurnakan oleh penulis dari referensi lainnya.
4 Hadits no. 32, hal. 503
5 Al-Imam Al-Bukhari tidak hanya melemahkannya, bahkan menghukuminya: munkarul hadits. Dan bila Al-Imam Al-Bukhari menghukumi seorang rawi dengan hukum ini, maka maksudnya adalah tidak dihalalkan mengambil riwayat dari perawi tersebut, sebagaimana yang telah diriwayatkan Ibnul Qaththan bahwa Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Semua yang aku tetapkan sebagai munkarul hadits maka tidak halal mengambil riwayat darinya.” (Mizanul I’tidal, 1/119, tarjamah Aban bin Jabalah Al-Kufi)
6 Fadhilah Dzikr, hal 504.
7 Hal. 507, hadits ke-35
8 Al-Makhraj minal Fitnah, hal. 96
9 Al-Qaulul Baligh Fit Tahdzir min Jama’ah At-Tabligh, Hamud At-Tuwaijiri, hal. 11
10 Demikian tertulis, maksudnya radhiallahu anhu.
11 Terjadi silang pendapat tentang Zaenab yang dimaksud dalam hadits ini. Ada yang mengatakan Zaenab bintu Jahsy, salah seorang Ummul Mukminin. Ada pula yang mengatakan Hamnah bintu Jahsy, yang memiliki nama lain Zaenab. Karena semua anak perempuan Jahsy dipanggil dengan nama Zainab. (Dalil Al-Falihin, 1/287)
12 Nishab artinya bahagian.
13 Ahli kasyaf adalah seseorang yang mampu melihat segala hal ghaib, karena hijab telah diangkat darinya. Begitulah anggapan mereka, namun hakekatnya semua itu adalah bohong belaka.
14 Yang keduanya telah ditakhrij dan ditahqiq hadits-haditsnya oleh Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah

Sumber:

http://www.asysyariah.com/





Kesesatannya Jamaah Tabligh..!!

10 01 2009

Sesatkah Jamaah Tabligh?
Penulis: Al Ustadz Muhammad Ali Ismah Al Medani

Bagi seorang yang ingin mengetahui kesesatan sebuah paham atau kelompok hendaknya dia mengetahui terlebih dahulu mana pemahaman yang benar dan mana pemahaman yang salah. Banyak kita saksikan seseorang kebingungan bila dia mendengar atau membaca pernyataan bahwa : Ini adalah pemahaman yang sesat dan itu adalah pemahaman yang menyeleweng! Mengapa dia bingung. Hal itu terjadi tidak lain karena dia belum mengetahui perkara yang benar dan yang salah. Kebingungan ini tidak hanya melanda orang awam saja. Akan tetapi para pelajar, mahasiswa, dan kalangan intelek pun mengalami hal yang sama. Untuk itu sudah seharusnya seorang itu terlebih dahulu mengetahui kebenaran sehingga bila diajak berbicara tentang firqah-firqah sesat semacam syi’ah, mu’tazilah, jahmiyah, dan lain-lainnya tidak akan merasa heran. Begitu juga berkaitan dengan tema yang akan kita angkat kali ini tentang jamaah tabligh. Sudah semestinya seorang Muslim mempelajari kebenaran yang terdapat pada manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dan bagaimana sikapnya terhadap jamaah ini.

Sesatkah Jamaah Tabligh?
Tidak diragukan lagi bahwa jamaah tabligh adalah suatu kelompok dakwah yang telah menyebar kemana-mana. Tapi sebenarnya bagaimana jamaah ini bila dilihat dengan kacamata ajaran Islam. Kalau kita menengok sejarahnya, jamaah ini dirintis oleh Muhammad Ilyas Ad Diyobandi Al Jisti Al Kandahlawi kemudian Ad Dahlawi. Dia adalah pendiri jamaah tabligh di India. Dia pula yang merancang dan merumuskan ushulus sittah (enam dasar) ajaran jamaah tabligh. Ini dengan isyarat gurunya, Rasyid Ahmad Kankuhi Ad Diobandi Al Jisti An Naqsyabandi dan Asyraf Ali At Tanuhi Ad Diobandi Al Jisti. (Lihat Al Qaulul Baligh fit Tahdzir min Jama’atit Tabligh oleh Syaikh Hamud At Tuwaijiri halaman 24).

Kemudian dilanjutkan gerakan ini oleh anaknya, Yusuf. Dan pimpinan mereka sekarang adalah In’amul Hasan. (Halaman 7) Jamaah ini dibangun di atas empat jenis tarekat sufi : Jistiyah, Qadiriyah, Sahrawardiyah, dan Naqsyabandiyah. Di atas empat tarekat sufi inilah In’amul Hasan membaiat para pengikutnya yang telah dianggap pantas untuk dibaiat. (Halaman 7-8). Dari sini telah nampak jamaah tabligh tidaklah mendasarkan pemahamannya kepada pemahaman Salaf Shalih sebagai dasar pemahamannya pasti sesat. Dan berikut ini kita akan mendapatkan bukti nyata kesesatan mereka. Penampilan zuhud jamaah tabligh telah menipu sebagian besar kaum Muslimin sehingga ketika ada orang yang menyatakan bahwa mereka adalah kelompok yang sesat tiba-tiba terkejut sambil berkata : “Apakah orang-orang yang zuhud seperti itu sesat dan salah.!” Rupanya, orang-orang seperti ini tidak paham pokok dan dasar Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam menilai sesat atau tidaknya suatu kelompok tertentu. Mereka mengukur baik dan buruk hanya dari segi penampilan luar tanpa melihat bagaimana keadaan dalamnya.

Para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah orang yang arif dan bijaksana. Mereka menghukumi kelompok atau perorangan tidaklah berdasarkan hawa nafsu atau karena sakit hati tetapi dengan ilmu dan bukti-bukti otentik yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan semua makhluk. Berapa banyak orang-orang sufi yang berpenampilan sederhana dan zuhud tidak luput dari kritikan dan kecaman pedas dari para ulama. Mereka bisa menipu orang awam tapi jangan harap bisa menipu ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ahli Tarikh Islam, Al Imam Al Hafidh Adz Dzahabi mengomentari tertipunya Al Manshur, seorang khalifah Bani Abbasiyah karena ulah seorang tokoh mu’tazilah, ‘Amr bin ‘Ubaid. Khalifah bersyair :
Semua kalian berjalan dengan perlahan-lahan
Semua kalian memburu buruannya
Kecuali ‘Amr bin ‘Ubaid

Imam Adz Dzahabi berkata : “Dia (Manshur) tertipu dengan kezuhudan dan lagak keikhlasannya hingga dia melupakan kebid’ahannya.” (Lihat Siyar A’lamin Nubala 6/105 dan Naqdur Rijal karya Syaikh Rabi’ halaman 12)

Ushulus Sittah
“Jamaah ini memiliki manhaj yang dijadikan dasar sebagai tempat rujukan yang dinamakan Ushulus Sittah (enam dasar), Ushulus Sittah tersebut berisi :
1. Merealisasikan kalimat thayibah Laa Ilaha Illallah Muhammadar Rasulullah.
2. Shalat dengan khusyu’ dan khudhu’ (penuh ketundukan).
3. Ilmu dan dzikir.
4. Memuliakan kaum Muslimin.
5. Memperbaiki niat dan mengikhlaskannya.
6. Keluar (khuruj) di jalan Allah.

Perhatikanlah wahai para pembaca yang budiman terhadap Ushulus Sittah ini. Kemudian kita lihat apakah mereka berada di atas manhaj yang benar dalam memahami, mempraktikkan, dan mendakwahkan dasar-dasar ini. Sebelum kita membicarakannya, Anda harus mengetahui terlebih dahulu bahwa Ushulus Sittah ini memiliki Kalimat Rahasia. Jika Anda telah mengenalinya akan bisa –dengan ijin Allah– memahami semua pendapat dan gerakan jamaah ini dengan mengembalikan semua ucapan dan perbuatan tersebut kepada Kalimat Rahasia ini. Kalimat Rahasia itu adalah segala sesuatu yang menyebabkan lari atau berselisih antara dua orang maka harus diputus dan dilenyapkan dari manhaj jamaah ini.

Sekarang mari bersama saya membahas dasar yang pertama jamaah ini, yaitu merealisasikan dua kalimat syahadat. Apakah Anda telah mengetahui cara merealisasikan dua kalimat syahadat di atas.

Realisasi dua kalimat syahadat itu adalah dengan cara mewujudkan tiga jenis tauhid, Tauhid Uluhiyah, Rububiyah, dan Asma’ was Sifat. Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alus Syaikh rahmatullah ‘alaihi mengatakan dalam Kitab Fathul Majid halaman 84 :

“Ucapan beliau, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab : ‘Bab Siapa Yang Merealisasikan Tauhid Akan Masuk Surga Tanpa Dihisab. Yaitu tanpa diadzab.’ Saya (Syaikh Abdurrahman) katakan : Merealisasikannya adalah (dengan cara) memurnikan dan membersihkannya dari noda-noda syirik, kebid’ahan, dan kemaksiatan.” Setelah kita memahami makna kalimat tauhid di atas dan Kalimat Rahasia yang ada pada mereka baiklah sekarang kita lihat realisasinya pada jamaah ini. Mereka merealisasikan kalimat ini dengan hanya berbicara sekitar tauhid Rububiyah saja. Mengapa demikian. Karena hal itu tidak sampai menyebabkan terjadinya perpecahan, membuat orang lari, dan berselisih antara dua orang Muslim.

Adapun kalau berbicara tentang tauhid Al Asma’ was Shifat maka akan menyebabkan terjadinya perpecahan, membuat orang lari, dan perselisihan karena di sana ada kelompok asy’ariyah, maturidiyah, jahmiyah, hululiyah, ittihadiyah, dan Salafiyah. Mereka semua berbeda dalam masalah ini. Dan dasar yang dijalani oleh jamaah tabligh dalam Kalimat Rahasia ini bahwa sesuatu yang akan menyebabkan orang lari, perselisihan, dan perpecahan antara dua orang maka harus dibuang dan ditiadakan dari manhaj jamaah ini.

Demikian juga jenis ketiga dari bagian tauhid, yaitu tauhid Uluhiyah maka pembicaraan dalam masalah ini diputus dan ditiadakan karena akan menyebabkan terjadinya perpecahan dan perselisihan karena nanti ada yang Salafi dan ada yang khalafi quburi. Yang pertama (Salafi, pent.) tidak membolehkan seseorang bepergian ke kuburan, shalat di sisinya, (shalat) ke arahnya, thawaf di situ, tawassul dengan orang-orang shalih, istighatsah kepada mereka, dan seterusnya. Berbeda dengan yang kedua (khalafi quburi, pent.), semua hal tadi boleh bahkan yang kita sebutkan tadi adalah intisari agama mereka.

Oleh karena itu wahai saudaraku yang mulia, jika ada di antara mereka yang menerangkan dasar ini tidaklah mereka mengatakan kecuali segala puji bagi Allah yang telah menciptakan kita, memberi rizki kepada kita, memberi nikmat kepada kita, dan seterusnya yang berkaitan dengan tauhid Rububiyah saja. Kita telah mengetahui bahwa yang namanya ilmu adalah firman Allah, sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, serta ucapan para shahabat, apakah dalam bidang aqidah, ibadah, muamalah, akhlak, dan yang lainnya. Mereka menyatakan ilmu itu ada dua, ilmu fadha’il yang berasal dari mereka dan ilmu masa’il yang berasal dari para ulama yang berada di setiap negeri. Setiap orang yang khuruj (keluar berdakwah) bersama mereka hendaknya mengambil (ilmu masa’il) tersebut dari para ulama di negeri masing-masing.

Apakah Anda telah memperhatikan pembagian ini. Dan mengapa mereka membolehkan seseorang berbicara tentang ilmu fadha’il dan melarang berbicara ilmu masa’il bahkan menganjurkan orang yang khuruj bersama mereka untuk mengambil ilmu tersebut dari para ulama di negeri masing-masing. Karena ilmu yang pertama (fadha’il) tidak menimbulkan perpecahan dan perselisihan, berbeda dengan yang kedua yang akan menimbulkan perpecahan.

Dalam perkara amar ma’ruf nahi munkar mereka juga menggunakan senjata Kalimat Rahasia ini. Mestinya amar ma’ruf nahi munkar itu diterapkan dalam semua perkara akan tetapi mereka menerapkannya dalam perkara yang sekiranya tidak menimbulkan perpecahan. Lalu bagaimana mereka mempraktikkannya. Maka jawabnya dengan cara pemaparan, yaitu mereka memaparkan hadits-hadits dan ayat-ayat yang berisi anjuran untuk melaksanakan perbuatan itu atau meninggalkan perbuatan yang dilakukannya tanpa menembus sisi aqidah. Mereka akan mengatakan kepada orang yang meninggalkan shalat –misalnya– :[ “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS. Al Mukminun : 12) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam besabda : “Tidaklah setiap hamba Muslim shalat untuk Allah di setiap harinya dua belas rakaat tathawwu’ bukan fardlu kecuali Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di Surga.” Ini keutamaan shalat yang sunnah maka bagaimana dengan yang fardlu. ]

Oleh karena itu bila ada orang yang bermaksiat ikut khuruj (keluar) bersama mereka ingin merokok maka mereka membolehkannya bahkan membelikan rokok untuknya. Demikian juga peminum arak mereka akan membawakan botolnya. Dan kalau orang itu ingin mencukur jenggotnya mereka akan berikan pisau cukur untuknya atau mereka akan membawanya ke tukang cukur. Mungkin Anda akan berkata : “Ini hanyalah hal-hal yang dilebih-lebihkan saja.” Maka saya katakan : “Semoga Allah memberi hidayah kepadaku dan kepada Anda.” Cerita tidak sama dengan orang yang menyaksikan. Lihatlah buku-buku yang mengkritik mereka, Anda akan dapati perkara yang lebih aneh lagi.

Ketahuilah, mereka memiliki dua pertemuan rutin di malam Selasa dan Rabu. Pertemuan pertama untuk orang-orang yang pulang dari khuruj. Pada pertemuan pertama dihadirkan di hadapan mereka orang-orang yang ingin diberi semangat untuk khuruj bersama mereka atau untuk mempengaruhi mereka. Pertemuan kedua untuk menata khuruj pada waktu Ashar di hari Rabu. Amir pertemuan berkata kepada salah seorang yang telah khuruj –agar yang baru dan para pendengar mengetahui– : “Berapa hari Anda khuruj.” Yang khuruj menjawab: “Saya khuruj selama 4 bulan di jalan Allah.” Sang amir berkata : “Masya Allah! Di mana Anda habiskan semua waktu Anda itu.” Yang khuruj menjawab : “10 hari di negeri-negeri Teluk, 20 hari di belantara Afrika, 1 bulan di Eropa, 1 bulan di Amerika Selatan, 1 bulan di Asia Timur, India, dan Pakistan.” Maka sang amir pertemuan berkata (perhatikan ucapannya) : “Masya Allah! Anda adalah dai dan ketahuilah dai itu seperti awan yang datang ke bumi turun berupa air hujan kemudian menyirami mereka. Berbeda dengan ulama, mereka itu ibarat sumur, jika Anda merasa haus Anda harus menempuh perjalanan sejauh 1 mil untuk mendatangi sumur itu maka Anda akan mati dulu sebelum sampai ke sumur tersebut. Bahkan mungkin Anda tidak bisa minum karena timba yang digunakan untuk mengambilnya tidak ada. Dan kalau Anda ingin minum maka Anda harus datang ke pinggir sumur kemudian menimba dulu baru engkau bisa minum.”

Apakah Anda merasa tergugah –seperti tergugahnya para pendengar cerita itu– yang lebih memuliakan dai dari orang yang alim! Maka akibat dari cerita ini jika salah seorang di antara mereka ingin duduk menuntut ilmu, diceritakanlah kisah ini maka akhirnya diapun ingin menjadi awan saja daripada menjadi sumur! Agar Anda tidak kebingungan setelah membaca kisah ini maka harus diterangkan di sini kekeliruannya. Saya katakan –dengan mengharapkan bimbingan Allah– : Ketahuilah –semoga Allah membimbing kita kepada jalan-jalan kebaikan– bahwa awan yang turun berupa hujan tidaklah menumbuhkan kecuali rerumputan untuk pakan ternak pada umumnya dan hanya menumbuhkan rumput yang bersifat musiman. Bahkan kalau hujan itu turunnya di bumi yang gersang atau tidak pada musimnya, tidak bermanfaat. Dan kadang-kadang awan itu membawa kerusakan dan menimbulkan kehancuran. Berbeda halnya dengan air sumur, dia bisa dijadikan air minunm dan untuk bercocok tanam. Dan biasanya daerah yang ada sumurnya kehidupan di sana lebih bertahan lama karena penduduknya bisa bercocok tanam, minum, memanen hasil tanamannya, dan seterusnya. Dan keberadaan sumur bisa memberi manfaat bagi orang yang tinggal di situ dan bagi orang yang lewat apakah untuk diri mereka, tunggangan mereka, untuk tanaman mereka, dan perbekalan mereka dengan cara disimpan dalam bejana-bejana. Sumur, setiap saat airnya bersih, jernih, dan harum, apakah Anda berpikir untuk meninggalkannya.

Ada kisah lain, mudah-mudahan semakin memperjelas kesesatan jamaah ini. Diceritakan di hadapan para pemula yang ingin menuntut ilmu syar’i bahwa salah seorang di antara mereka berkata : [ “Kemana Anda akan pergi wahai fulan.” Maka yang lain akan menjawab : “Aku akan pergi belajar.” Kemudian orang yang pertama tadi berkata : “Untuk apa.” Yang lain berkata : “Agar aku mengetahui perkara yang halal dan haram.” Yang pertama berkata : “Subhanallah, Anda tidak tahu perkara yang halal dan haram.! Apakah anda tidak mendengar bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Mintalah fatwa kepada hatimu meskipun banyak orang yang memberi fatwa kepadamu.’ Subhanallah, sampai sekarang engkau tidak mengetahui perkara yang halal dan yang haram padahal banyak binatang yang mengerti tentang itu. Apakah Anda tidak melihat kucing ketika Anda letakkan makanan di suatu tempat kemudian Anda pergi dan kembali lagi sebentar setelah itu maka Anda akan lihat dia memakannya dan ketika melihatmu dia akan lari. Berbeda dengan kalau Anda duduk di atas kursi makanmu kemudian Anda letakkan di sebelahmu sesuatu makanan maka dia akan makan dengan tenang di sebelahmu. Pada kasus yang pertama kucing itu tahu bahwa dia terjatuh ke dalam perbuatan yang haram oleh karena itu dia lari. Dan pada kasus yang kedua, dia tahu bahwa makanan yang didapatkannya halal oleh karena itu dia makan bersamamu dengan tenang. Wahai saudaraku, akal kaum Mukminin bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram! Oleh karena itu mintalah fatwa kepada hatimu walau banyak orang yang memberi fatwa kepadamu.!” ]

Maka wahai saudaraku, apakah Anda setuju dengan permisalan seperti itu. Tentunya bagi seorang Muslim dalam menentukan perkara halal/haram dan perkara lain dalam urusan agama ini harus bersandar kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Sebab kalau masing-masing orang diberikan kebebasan menentukan urusan agama ini sekehendaknya sendiri niscaya akan rusak agama yang mulia ini. Adapun perkara minta fatwa kepada hati dalam menentukan suatu permasalahan, hal ini kadang-kadang bisa diterapkan dalam hal-hal yang memang belum jelas urusannya dalam agama ini. Dan tentunya syaratnya dia harus seorang rasikh (mendalam) ilmunya dalam Dien ini dan tidak dikhawatirkan hawa nafsu mempengaruhinya. Diceritakan bahwa salah seorang tabligh berbicara memberikan semangat kepada para pendengarnya untuk khuruj bersama mereka dengan meninggalkan anak, istri, keluarga, harta, negeri, dan lain-lainnya : “Wahai saudaraku, jika Anda meletakkan gula ke dalam gelas teh kemudian Anda tuangkan air dan Anda minum tanpa mengaduk gulanya maka Anda tidak akan merasakan manisnya gula. Dan jika Anda aduk maka akan merasakan manisnya gula. Demikian halnya dengan iman di dalam hati setiap manusia. Iman itu ada dan tidak akan bisa dirasakan manisnya oleh pemiliknya kecuali setelah mengaduknya dengan bergabung dan khuruj bersama jamaah ini.” Saya beranggapan, Anda akan segera membantah kisah ini dengan berkata : “Subhanallah! Jadi iman itu ada di setiap hati manusia.! Hingga di hati-hati orang munafik, kafir, dan murtad!” Dan barangkali Anda akan berkata pula : “Subhanallah! Jadi para ulama, penuntut ilmu, dai, orang awam dari kalangan pria dan wanita tidak akan merasakan manisnya iman bila tidak ikut khuruj dengan kalian.!” Mungkin Anda akan juga berkata : “Subhanallah! Bukankah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

‘Tiga perkara, barangsiapa ada pada dirinya tiga perkara itu akan merasakan manisnya iman : Menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya, dia mencintai seseorang karena Allah, dan dia benci kembali kepada kekufuran setelah dia diselamatkan Allah darinya sebagaimana dia benci kalau dilemparkan ke dalam neraka.’ (HR. Muslim 1/66)

Terakhir akan saya tutup dengan sebuah kisah bagaimana mereka mempermainkan syariat dan akal para pendengarnya. Amir khuruj membagi kelompoknya pada hari Kamis pagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama, tinggal di masjid membuat halaqah dzikir yang terus berkelanjutan hingga semua kelompok pulang. Kelompok kedua menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 3 orang lebih. Tugasnya mengetuk pintu-pintu rumah yang berdekatan dengan masjid dan mengajak mereka untuk hadir dan bergabung dalam kegiatan jamaah ini dan agar mereka menghadiri bayan (penjelasan) yang diadakan setelah Maghrib sampai Isya’. Dan sebelum semuanya berpencar sang amir menceritakan kepada mereka kisah-kisah untuk memberi pelajaran kepada mereka maka dia berkata : “Pernah pada suatu saat sebuah kelompok ke suatu daerah. Setelah mereka dibagi menjadi 2 kelompok berdiamlah kelompok pertama dalam masjid. Dan kelompok kedua keluar mengetuk pintu-pintu rumah. Setiap kali mereka mengetuk pintu, mereka tidak mendapati jawaban yang menyenangkan dan sambutan yang baik. Tetapi mereka terus mengetuk pintu-pintu rumah dan tetap saja tidak disambut dengan baik. Maka ada di antara mereka yang berkata : ‘Periksalah iman kalian, wahai teman-teman!’ Maka merekapun memeriksa iman mereka tapi mereka tidak mendapati cacat (!). Maka salah seorang mereka berkata : ‘Mungkin teman-teman kita yang kita tinggalkan di masjid lalai berdzikir kepada Allah.’ Maka mereka berkata : ‘Marilah kita lihat mereka!’ Maka ternyata mereka dapati teman-teman mereka yang ada di masjid lalai berdzikir kepada Allah. Saudaraku, apa yang terasa di dalam dirimu kalau engkau khuruj bersama mereka kemudian mereka menjadikanmu di halaqah masjid apakah Anda ketika mendengar kisah ini akan lalai dari dzikir kepada Allah. Atau engkau akan berusaha dengan keras agar Allah memberi taufiq kepada teman-temanmu yang di luar hingga mereka membawa hasil.”

Tidak diragukan lagi, inilah terjadi. Terlebih lagi jika si tablighi tadi menyandarkan perbuatannya itu dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwa :

“Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu rumah dari beberapa rumah Allah (masjid), membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka kecuali akan turun sakinah (ketenangan) kepada mereka. Dan mereka akan diliputi rahmat, dinaungi malaikat, dan disebut-sebut Allah pada hamba-hamba yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim 4/2074)

Maka menurut mereka, penghuni masjid seperti sumber listrik dan kelompok kedua seperti lampu. Bila bergerak sumber listrik mereka akan hidup. Dan kalau tidak bergerak lampunya akan mati.  Apakah Anda pernah mendengar permisalan seperti ini dan apakah Anda pernah melihat cara berdalil seperti ini! (Quthbiyah oleh Abu Ibrahim halaman 4-12)

Kitab Rujukan Jamaah Tabligh

Syaikh Tuwaijiri berkata : “Kitab yang paling top di kalangan tabligh adalah kitab Tablighin Nishshab yang dikarang oleh salah seorang tokoh mereka yang bernama Muhammad Zakaria Al Kandahlawi. Mereka sangat mengagungkan kitab ini sebagaimana Ahlus Sunnah wal Jamaah mengagungkan Shahih Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab hadits lain.

Para tablighi (orang tabligh) menjadikan kitab ini sebagai rujukan dan pegangan bagi orang India dan Ajam yang mengikuti mereka. Di dalam kitab ini (Tablighin Nishshab) berisi kesyirikan-kesyirikan, bid’ah-bid’ah, khurafat-khurafat, dan hadits-hadits yang palsu dan lemah yang banyak sekali. Kitab ini sebenarnya adalah kitab yang jelek dan jahat serta sarat dengan fitnah dan kesesatan. Orang-orang tabligh menjadikannya sebagai rujukan untuk menyebarkan kebid’ahan-kebid’ahan dan kesesatan mereka, melariskannya, dan memperindahnya kepada orang-orang yang bodoh yang mereka (orang-orang tabligh -red) lebih sesat dari binatang ternak … .

Dan termasuk juga yang mereka perindah adalah dengan mewajibkan ziarah ke kubur Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam setelah haji. Padahal dalam perkara itu hanya bersandar dengan hadits-hadits yang palsu. Dan orang tabligh memiliki kitab lain yang mereka jadikan sebagai pegangan dan rujukan para pengikut mereka dari kalangan Ajam, India, dan selainnya yaitu kitab yang bernama Hayatush Shahabah karya Muhammad Yusuf Al Kandahlawi. Kitab ini juga sarat dengan hadits-hadits yang palsu dan lemah. Dan ini termasuk kitab yang jahat, sesat, dan berisi fitnah.” (Lihat Al Qaulul Baligh halaman 11-12)

Dinukil dari:

www.assunnah.cjb.net/

www.darussalaf.or.id/





BONGKAR KESESATAN (AGAMA) SYI’AH

8 01 2009

new1a

Membongkar Kesesatan Syiah


Penulis : Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari, Lc.


Serupa tapi tak sama. Barangkali ungkapan ini tepat untuk menggambarkan Islam dan kelompok Syi’ah. Secara fisik, memang sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi’ah. Namun jika ditelusuri -terutama dari sisi aqidah- perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga, tidak mungkin disatukan.

Apa Itu Syi’ah?
Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu’ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji)
Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm)
Syi’ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok ini terpecah menjadi lima sekte yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat, dan Isma’iliyyah. Dari kelimanya, lahir sekian banyak cabang-cabangnya. (Al-Milal Wan Nihal, hal. 147, karya Asy-Syihristani)
Dan tampaknya yang terpenting untuk diangkat pada edisi kali ini adalah sekte Imamiyyah atau Rafidhah, yang sejak dahulu hingga kini berjuang keras untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Dengan segala cara, kelompok sempalan ini terus menerus menebarkan berbagai macam kesesatannya. Terlebih lagi kini didukung dengan negara Iran-nya.
Rafidhah , diambil dari yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna , meninggalkan (Al-Qamus Al-Muhith, hal. 829). Sedangkan dalam terminologi syariat bermakna: Mereka yang menolak imamah (kepemimpinan) Abu Bakr dan ‘Umar c, berlepas diri dari keduanya, dan mencela lagi menghina para shahabat Nabi . (Badzlul Majhud fi Itsbati Musyabahatir Rafidhati lil Yahud, 1/85, karya Abdullah Al-Jumaili)
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu? Maka beliau menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan ‘Umar’.” (Ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hal. 567, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)
Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86)
Asy-Syaikh Abul Hasan Al-Asy’ari berkata: “Zaid bin ‘Ali adalah seorang yang melebihkan ‘Ali bin Abu Thalib atas seluruh shahabat Rasulullah, mencintai Abu Bakr dan ‘Umar, dan memandang bolehnya memberontak1 terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka ia katakan kepada mereka:

“Kalian tinggalkan aku?” Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii.” (Maqalatul Islamiyyin, 1/137). Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (13/36).
Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah membenci Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah.
Rafidhah ini terpecah menjadi beberapa cabang, namun yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan kali ini adalah Al-Itsna ‘Asyariyyah.

Siapakah Pencetusnya?
Pencetus pertama bagi faham Syi’ah Rafidhah ini adalah seorang Yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin Saba’ Al-Himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan ‘Utsman bin Affan.2
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Asal Ar-Rafdh ini dari munafiqin dan zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, pen). Pencetusnya adalah Abdullah bin Saba’ Az-Zindiq. Ia tampakkan sikap ekstrim di dalam memuliakan ‘Ali, dengan suatu slogan bahwa ‘Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa, pen).” (Majmu’ Fatawa, 4/435)

Sesatkah Syi’ah Rafidhah ?
Berikut ini akan dipaparkan prinsip (aqidah) mereka dari kitab-kitab mereka yang ternama, untuk kemudian para pembaca bisa menilai sejauh mana kesesatan mereka.

a. Tentang Al Qur’an
Di dalam kitab Al-Kaafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih Al-Bukhari di sisi kaum muslimin), karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini (2/634), dari Abu Abdullah (Ja’far Ash-Shadiq), ia berkata : “Sesungguhnya Al Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad  (ada) 17.000 ayat.”
Di dalam Juz 1, hal 239-240, dari Abu Abdillah ia berkata: “…Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah ‘alaihas salam, mereka tidak tahu apa mushaf Fathimah itu. Abu Bashir berkata: ‘Apa mushaf Fathimah itu?’ Ia (Abu Abdillah) berkata: ‘Mushaf 3 kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari Al Qur’an kalian…’.”
(Dinukil dari kitab Asy-Syi’ah Wal Qur’an, hal. 31-32, karya Ihsan Ilahi Dzahir).
Bahkan salah seorang “ahli hadits” mereka yang bernama Husain bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi telah mengumpulkan sekian banyak riwayat dari para imam mereka yang ma’shum (menurut mereka), di dalam kitabnya Fashlul Khithab Fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, yang menjelaskan bahwa Al Qur’an yang ada ini telah mengalami perubahan dan penyimpangan.

b. Tentang shahabat Rasulullah
Diriwayatkan oleh Imam Al-Jarh Wat Ta’dil mereka (Al-Kisysyi) di dalam kitabnya Rijalul Kisysyi (hal. 12-13) dari Abu Ja’far (Muhammad Al-Baqir) bahwa ia berkata: “Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi, dalam keadaan murtad kecuali tiga orang,” maka aku (rawi) berkata: “Siapa tiga orang itu?” Ia (Abu Ja’far) berkata: “Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi…” kemudian menyebutkan surat Ali Imran ayat 144. (Dinukil dari Asy-Syi’ah Al-Imamiyyah Al-Itsna ‘Asyariyyah Fi Mizanil Islam, hal. 89)
Ahli hadits mereka, Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini berkata: “Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad kecuali tiga orang: Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi.” (Al-Kafi, 8/248, dinukil dari Asy-Syi’ah Wa Ahlil Bait, hal. 45, karya Ihsan Ilahi Dzahir)
Demikian pula yang dinyatakan oleh Muhammad Baqir Al-Husaini Al-Majlisi di dalam kitabnya Hayatul Qulub, 3/640. (Lihat kitab Asy-Syi’ah Wa Ahlil Bait, hal. 46)
Adapun shahabat Abu Bakr dan ‘Umar, dua manusia terbaik setelah Rasulullah , mereka cela dan laknat. Bahkan berlepas diri dari keduanya merupakan bagian dari prinsip agama mereka. Oleh karena itu, didapati dalam kitab bimbingan do’a mereka (Miftahul Jinan, hal. 114), wirid laknat untuk keduanya:

Ya Allah, semoga shalawat selalu tercurahkan kepada Muhammad dan keluarganya, laknatlah kedua berhala Quraisy (Abu Bakr dan Umar), setan dan thaghut keduanya, serta kedua putri mereka…(yang dimaksud dengan kedua putri mereka adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah dan Hafshah)
(Dinukil dari kitab Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 18, karya As-Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib)
Mereka juga berkeyakinan bahwa Abu Lu’lu’ Al-Majusi, si pembunuh Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab, adalah seorang pahlawan yang bergelar “Baba Syuja’uddin” (seorang pemberani dalam membela agama). Dan hari kematian ‘Umar dijadikan sebagai hari “Iedul Akbar”, hari kebanggaan, hari kemuliaan dan kesucian, hari barakah, serta hari suka ria. (Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 18)
Adapun ‘Aisyah dan para istri Rasulullah  lainnya, mereka yakini sebagai pelacur -na’udzu billah min dzalik-. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab mereka Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal (hal. 57-60) karya Ath-Thusi, dengan menukilkan (secara dusta) perkataan shahabat Abdullah bin ‘Abbas terhadap ‘Aisyah: “Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah…” (Dinukil dari kitab Daf’ul Kadzibil Mubin Al-Muftara Minarrafidhati ‘ala Ummahatil Mukminin, hal. 11, karya Dr. Abdul Qadir Muhammad ‘Atha)
Demikianlah, betapa keji dan kotornya mulut mereka. Oleh karena itu, Al-Imam Malik bin Anas berkata: “Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menghabisi Nabi  namun tidak mampu. Maka akhirnya mereka cela para shahabatnya agar kemudian dikatakan bahwa ia (Nabi Muhammad  ) adalah seorang yang jahat, karena kalau memang ia orang shalih, niscaya para shahabatnya adalah orang-orang shalih.” (Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimirrasul, hal. 580)

c. Tentang Imamah (Kepemimpinan Umat)
Imamah menurut mereka merupakan rukun Islam yang paling utama3. Diriwayatkan dari Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (2/18) dari Zurarah dari Abu Ja’far, ia berkata: “Islam dibangun di atas lima perkara:… shalat, zakat, haji, shaum dan wilayah (imamah)…” Zurarah berkata: “Aku katakan, mana yang paling utama?” Ia berkata: “Yang paling utama adalah wilayah.” (Dinukil dari Badzlul Majhud, 1/174)
Imamah ini (menurut mereka -red) adalah hak ‘Ali bin Abu Thalib  dan keturunannya sesuai dengan nash wasiat Rasulullah . Adapun selain mereka (Ahlul Bait) yang telah memimpin kaum muslimin dari Abu Bakr, ‘Umar dan yang sesudah mereka hingga hari ini, walaupun telah berjuang untuk Islam, menyebarkan dakwah dan meninggikan kalimatullah di muka bumi, serta memperluas dunia Islam, maka sesungguhnya mereka hingga hari kiamat adalah para perampas (kekuasaan). (Lihat Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 16-17)
Mereka pun berkeyakinan bahwa para imam ini ma’shum (terjaga dari segala dosa) dan mengetahui hal-hal yang ghaib. Al-Khumaini (Khomeini) berkata: “Kami bangga bahwa para imam kami adalah para imam yang ma’shum, mulai ‘Ali bin Abu Thalib hingga Penyelamat Umat manusia Al-Imam Al-Mahdi, sang penguasa zaman -baginya dan bagi nenek moyangnya beribu-ribu penghormatan dan salam- yang dengan kehendak Allah Yang Maha Kuasa, ia hidup (pada saat ini) seraya mengawasi perkara-perkara yang ada.” (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 5, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/192)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Minhajus Sunnah, benar-benar secara rinci membantah satu persatu kesesatan-kesesatan mereka, terkhusus masalah imamah yang selalu mereka tonjolkan ini.
d. Tentang Taqiyyah
Taqiyyah adalah berkata atau berbuat sesuatu yang berbeda dengan keyakinan, dalam rangka nifaq, dusta, dan menipu umat manusia. (Lihat Firaq Mu’ashirah, 1/195 dan Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyyah, hal. 80)
Mereka berkeyakinan bahwa taqiyyah ini bagian dari agama. Bahkan sembilan per sepuluh agama. Al-Kulaini meriwayatkan dalam Al-Kaafi (2/175) dari Abu Abdillah, ia berkata kepada Abu Umar Al-A’jami: “Wahai Abu ‘Umar, sesungguhnya sembilan per sepuluh dari agama ini adalah taqiyyah, dan tidak ada agama bagi siapa saja yang tidak ber-taqiyyah.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/196). Oleh karena itu Al-Imam Malik ketika ditanya tentang mereka beliau berkata: “Jangan kamu berbincang dengan mereka dan jangan pula meriwayatkan dari mereka, karena sungguh mereka itu selalu berdusta.” Demikian pula Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah dalam persaksian palsu.” (Mizanul I’tidal, 2/27-28, karya Al-Imam Adz-Dzahabi)

e. Tentang Raj’ah
Raj’ah adalah keyakinan hidupnya kembali orang yang telah meninggal. ‘Ahli tafsir’ mereka, Al-Qummi ketika menafsirkan surat An-Nahl ayat 85, berkata: “Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah raj’ah, kemudian menukil dari Husain bin ‘Ali bahwa ia berkata tentang ayat ini: ‘Nabi kalian dan Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) serta para imam ‘alaihimus salam akan kembali kepada kalian’.” (Dinukil dari kitab Atsarut Tasyayyu’ ‘Alar Riwayatit Tarikhiyyah, hal. 32, karya Dr. Abdul ‘Aziz Nurwali)

f. Tentang Al-Bada’
Al-Bada’ adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Mereka berkeyakinan bahwa Al-Bada’ ini terjadi pada Allah . Bahkan mereka berlebihan dalam hal ini. Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (1/111), meriwayatkan dari Abu Abdullah (ia berkata): “Tidak ada pengagungan kepada Allah yang melebihi Al-Bada’.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/252). Suatu keyakinan kafir yang sebelumnya diyakini oleh Yahudi4.
Demikianlah beberapa dari sekian banyak prinsip Syi’ah Rafidhah, yang darinya saja sudah sangat jelas kesesatan dan penyimpangannya. Namun sayang, tanpa rasa malu Al-Khumaini (Khomeini) berkata: “Sesungguhnya dengan penuh keberanian aku katakan bahwa jutaan masyarakat Iran di masa sekarang lebih utama dari masyarakat Hijaz (Makkah dan Madinah, pen) di masa Rasulullah , dan lebih utama dari masyarakat Kufah dan Iraq di masa Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) dan Husein bin ‘Ali.” (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 16, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 192)

Perkataan Ulama tentang Syi’ah Rafidhah
Asy-Syaikh Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili di dalam kitabnya Al-Intishar Lish Shahbi Wal Aal (hal. 100-153) menukilkan sekian banyak perkataan para ulama tentang mereka. Namun dikarenakan sangat sempitnya ruang rubrik ini, maka hanya bisa ternukil sebagiannya saja.
1. Al-Imam ‘Amir Asy-Sya’bi berkata: “Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih dungu dari Syi’ah.” (As-Sunnah, 2/549, karya Abdullah bin Al-Imam Ahmad)
2. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri ketika ditanya tentang seorang yang mencela Abu Bakr dan ‘Umar, beliau berkata: “Ia telah kafir kepada Allah.” Kemudian ditanya: “Apakah kita menshalatinya (bila meninggal dunia)?” Beliau berkata: “Tidak, tiada kehormatan (baginya)….” (Siyar A’lamin Nubala, 7/253)
3. Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i, telah disebut di atas.
4. Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku tidak melihat dia (orang yang mencela Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Aisyah) itu orang Islam.” (As-Sunnah, 1/493, karya Al-Khallal)
5. Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Bagiku sama saja apakah aku shalat di belakang Jahmi, dan Rafidhi atau di belakang Yahudi dan Nashara (yakni sama-sama tidak boleh -red). Mereka tidak boleh diberi salam, tidak dikunjungi ketika sakit, tidak dinikahkan, tidak dijadikan saksi, dan tidak dimakan sembelihan mereka.” (Khalqu Af’alil ‘Ibad, hal. 125)
6. Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi berkata: “Jika engkau melihat orang yang mencela salah satu dari shahabat Rasulullah , maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Yang demikian itu karena Rasul bagi kita haq, dan Al Qur’an haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al Qur’an dan As Sunnah adalah para shahabat Rasulullah . Sungguh mereka mencela para saksi kita (para shahabat) dengan tujuan untuk meniadakan Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka (Rafidhah) lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah zanadiqah.” (Al-Kifayah, hal. 49, karya Al-Khathib Al-Baghdadi)
Demikianlah selayang pandang tentang Syi’ah Rafidhah, mudah-mudahan bisa menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran…Amin.




Sumber: http:://asysyariah.com/

Catatan: untuk mengenal kebobrokan dan kebusukan agama mereka bisa antum buka disini





BANTAHAN TAFSIR MIMIPI MUHAMMAD ILYAS

1 01 2009
Oleh:  al-Ustadz
Abu Muhammad Abdurrahman Sarijan

Berkata Muhammad Manzur Al-Nu’maaniy menukil perkataan Syaikh Muhammad Ilyas tentang dirinya:”Terbuka jelas jalan dakwah ini ketika saya mendapatkan ilham dalam mimpi tentang tafsir baru firman Allah:

{كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ} (110) سورة آل عمران

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. Ali Imron: 110).

Dan hal itu tidak dapat terwujud dengan tetap tinggal disatu tempat, berdasarkan dalil firman Allah ( أخرجت). Dan iman akan bertambah dengan khuruj ini, dengan dalil adanya firman Allah Azza wa Jalla ( وتؤمنون بالله ) setetelah firman-Nya ( أخرجت للناس ) dan makna kalimat ( أمة ) adalah bangsa arab dan ( الناس) adalah bangsa-bangsa selain arab1).

Berkata Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmiy hafizahullah Ta’ala ketika mengomentari pernyataan di atas:

a) Sesungguhnya Al-Qur’an tidak dapat ditafsirkan oleh orang-orang yang sedang tidur, sesungguhnya hal ini merupakan salah satu penafsiran Al-Kasyf dari para pengikut shufiyyah yang mana hal ini berasal dari Syaithon.

b) Perkataannya:” Dan hal itu tidak dapat terwujud dengan tetap tinggal disatu tempat..”. Ini adalah perkataan bathil. Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mewujudkan dakwah sedangkan ia berada di Makkah dan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab telah mewujudkan dakwah sedangkan ia berada di Ad-Dar’iyyah. Barangsiapa yang membuka madrosah dan mengajarkan ilmu kepada menusia maka ia telah menegakkan/mewujudkan dakwah di atas tangannya apabila ia melakukannya dengan ikhlash dan menasehati (ummat, pent) walaupun ia tinggal disuatu tempat.

c) Dan perkataannya:” Dan iman akan bertambah dengan khuruj..”. Pernyataan ini juga tidak benar, karena iman akan bertambah dengan keta’atan apabila menetapi syarat-syarat diterimanya suatu amal. Karena syarat diterimanya suatu amal adalah ikhlash dan benar dengan apa-apa yang disyari’atkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman:

{وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى …} (76) سورة مريم

“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunju…” (QS. Maryam: 76).

Membaca Al-Qur’an dengan mentadaburinya, membaca As-Sunnah (Al-Hadits, pent) dengan tujuan untuk memahami Ad-Dien, berdzikir dengan dzikir-dzikir yang masyru’, melakukan sholat sunnah, shodaqoh, shaum dan lain sebagainya semuanya ini merupakan wasilah bertambahnya iman. Bertambahnya iman bukan karena khuruj.

d) Sedangkan tafsir ( أمة) khusus untuk bangsa arab saja dan ( الناس) untuk orang-orang selain bangsa arab, ini adalah penafsiran yang tidak pernah aku (Syaikh Ahmad Yahya, pent) lihat dari generasi terbaik ummat ini, bahkan khithob (ayat ini, pent) adalah kepada seluruh ummat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, baik bangsa arab maupun bangsa selain arab.

Berkata Abdullah bin ‘Abas:

” هم الذين هاجروا من مكة وشهدوا بدرا والحديبية “

“Mereka adalah orang-orang yang berhijrah dari Makkah dan syahid di Badr dan Hudaibiyyah” (HR. Ahmad 1/272; An-Nasa’I dalam At-Tafsir 1/319 no. 92; Ath-Thabariy dalam Tafsirnya 7/110; Ibn Abi Haatim no. 1157; Ibn Abi Syaibah 12/155; Ath-Thabraniy dalam Al-Kabiir no. 12303; Al-Haakim 2/294 ia berkata:”Shahih menurut syarat Imam Muslim dan disepakati oleh Adz-Dzahabiy. Berkata Al-Hafiz (Ibn Hajar, pent) dalam Al-Fath 8/225:”Sanadnya bagus”)

Berkata ‘Umar ibn Al-Khothob:

” من فعل فعلهم فهو مثلهم “

“Barangsiapa yang melakukan apa-apa yang mereka lakukan maka ia seperti mereka”2)

Dan dalam hadits Shahih Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(( خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم…))

“Sebaik-baiknya manusia adalah pada masaku, kemudian setelahnya, kemudian setelahnya…” (HR. Bukhori no. 4557; Ath-Thabraniy 4/29-30; Ibn Abi Haatim no. 1161; Al-Haakim dalam Al-Mustadrok 4/84. Hadits ini dishahihkannya dan disepakati oleh Adz-Dzahabiy. Lihat Tafsir Ibn Katsir 1/392).

Berkata Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkholiy hafizahullah:”Dan yang benar terhadap tafsir ayat: {كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ… } adalah umum untuk seluruh ummat di setiap masa.3 dan 4)

Catatan Kaki:

1) Lihat Al-Mauridul ‘Adzbul Zulal, hal: 250-251. Oleh: Syaikh Ahmad Yahya dan juga Jama’ah Tabligh, hal: 14. Oleh: Miyan Muhammad Aslam.

2) Lihat Ad-Durul Mantsur 2/293.

3) Lihat Tuhfatul Ahwadzi 8/353.

4) Dinukil dari kitab Al-Mauridul ‘Adzbul Zulal, hal: 265-268 dengan diringkas.

Sumber:

http://ibnusarijan.blogspot.com/





BOROK-BOROK AQIDAH JAMA’AH TABLIGH

1 01 2009
Oleh:
Al-Ustadz Azhari Asri hafizahullah Ta’ala

Mungkin ada yang bertanya: Kenapa dakwah Salafiyah sering membicarakan kejelekan fulan dan fulan, kelompok ini dan kelompok itu? Apakah ini bukan termasuk ghibah?

Ketahuilah wahai saudaraku, tidaklah semua ghibah diharamkan. Ada jenis ghibah tertentu yang diperbolehkan. Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan: Ketahuilah, bahwasanya ghibah diperbolehkan bila untuk tujuan yang benar dan syar’i yang tidak mungkin dapat dicapai (tujuan itu) kecuali dengannya.
Yang demikian itu dengan alasan enam sebab:

1. Karena terzhaliminya (seseorang).

2.Dalam rangka minta bantuan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang bermaksiat kepada kebenaran.

3. Minta fatwa.

4.Memperingatkan kaum Muslimin dari suatu kejelekan dan menasehati mereka. Yang demikian meliputi beberapa bentuk di antaranya dengan menerangkan kejelekan rawi-rawi hadits dan para saksi yang memiliki kejelekan. Hal itu diperbolehkan berdasarkan ijma’ kaum Muslimin bahkan wajib karena adanya kebutuhan. Dan (bentuk lain) yaitu jika seseorang melihat seorang penuntut ilmu mondar-mandir mendatangi mubtadi’ atau seorang yang fasik, dia mengambil ilmu darinya dan dikhawatirkan si penuntut ilmu itu terpengaruh dengannya maka wajib bagi orang tadi untuk menasehatinya dengan menerangkan keadaan mubtadi’ tersebut. Dengan syarat dia bermaksud memberi nasehat.

5.Adanya seseorang yang terang-terangan dengan kefasikannya dan kebid?ahannya.
6.Untuk pengenalan, (misalnya) seorang manusia terkenal dengan julukan si kabur matanya, si buta, si pincang, dan yang lain maka diperbolehkan memperkenalkan mereka dengan julukan-julukannya itu. Tetapi diharamkan jika tujuannya untuk mencela dan merendahkan. Dan seandainya memungkinkan untuk diperkenalkan dengan selain itu, itu lebih baik.

Demikian dinukil secara ringkas dari Kitab Riyadhush Shalihin bab ke-256, Bab Perkara Diperbolehkan Berghibah halaman 525-527 tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah.

Perhatikanlah jenis keempat, Imam An-Nawawi menyatakan bahwa ghibah diperbolehkan jika dalam rangka memperingatkan kaum Muslimin dari suatu kejelekan dan untuk menasehati mereka. Berapa banyak kitab-kitab para ulama yang membahas kejelekan rawi-rawi hadits dan kelemahaan mereka, seperti Kitab Adh-Dhu’afa karya Imam Bukhari, Nasa’i, Al-Uqaili, dan Ad-Daraquthni. Kitab Al-Kamil fid Dhu’afa karya Ibnu Abi Hatim, Kitab Al Mughni fidh Dhu’afa karya Imam Adz Dzahabi dan berbagai kitab lainnya yang berisi jarh (kritikan) terhadap rawi-rawi hadits. Apakah kita menuduh para ulama telah melakukan ghibah terhadap individu-individu tertentu atau kelompok-kelompok tertentu. Na’udzu Billah.

Ketahuilah, bahwa menyebutkan kejelekan seseorang diharamkan jika tujuannya semata-mata mencela, membongkar aib, dan merendahkan dia. Adapun jika di situ ada maslahat bagi seluruh kaum Muslimin atau khususnya bagi sebagian mereka dan bertujuan mencapai maslahat itu maka tidak diharamkan tetapi mandub (disunnahkan). Tegas Ibnu Rajab Al Hambali dalam Al Farqu bainan Nashihah wat Ta’yir halaman 25.

Kita tidak akan tinggal diam ketika melihat kemungkaran-kemungkaran atau penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di tengah-tengah kaum Muslimin. Kita harus memperingatkan kaum Muslimin agar berhati-hati dari orang-orang yang menyimpang atau kelompok-kelompok yang menyimpang dari Al Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman para Salafus Shalih dari generasi shahabat, tabi’in, dan tabiut tabi’in.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sebagian mereka berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal: “Sesungguhnya berat bagiku untuk mengatakan si fulan begini dan begitu. Maka beliau berkata: Kalau Anda diam dan akupun diam, kapan orang yang tidak tahu akan tahu mana yang benar dan yang salah”. (Naqdur Rijal halaman 39)

Baiklah, yang menjadi sorotan kita kali ini adalah penyimpangan aqidah Firqah Tabligh. Sejauh mana kelompok yang bertambah subur dimana-mana ini menyimpang dari aqidah yang benar, aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Pemahaman Syahadat Menurut Jama’ah Tabligh

Dalam menafsirkan makna Laa Ilaaha Illallah terjadi kesalahan fatal (fatal error) pada mereka. Mereka menafsirkan lafadh itu dengan makna Rububiyah Allah. Yaitu bahwa Allah adalah Pencipta, Pemberi Rizqi, Pengatur Semua Urusan dan Yang Menghidupkan serta Yang Mematikan. Memang benar Allah demikian, tapi apakah makna seperti itu yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika mendakwahi kaum musyrikin di zaman beliau. Tidak! Mengapa?. Karena kaum musyrikin yang hidup di masa beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah memiliki keyakinan yang demikian. Allah kisahkan keadaan mereka itu dalam firman-Nya (yang artinya): “Katakanlah: Siapakah yang memberi rizki kalian dari langit dan bumi atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan? Niscaya mereka akan menjawab: ‘Allah’. Maka katakanlah: ‘Mengapa kalian tidak mau bertaqwa (kepada-Nya).” (QS. Yunus: 31)

”Katakanlah: Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya jika mereka mengetahui.? Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah: ‘Maka mengapa kalian tidak ingat’. Katakanlah: ‘Siapa yang mempunyai langit yang tujuh dan yang mempunyai ‘Arsy yang besar’. Mereka akan menjawab: ‘Milik Allah’. Katakanlah: ‘Maka apakah kalian tidak bertakwa’. Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya jika kalian mengetahui’. Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah: ‘(Kalau demikian) maka dari jalan mana kalian ditipu”. (QS. Al Mukminun: 84-89)

Nah,.walau demikian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tetap memerangi mereka. Mengapa?. Karena mereka tidak mengakui bahwa Allah saja yang berhak untuk diibadahi. Dan mereka tahu kalau mengucapkan syahadat berati mereka mengkufuri semua sesembahan mereka. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Padahal mereka kaum musyrikin mengakui dan bersaksi bahwa Allah adalah Pencipta dan Pemberi Rizki sendiri saja tanpa sekutu. Dan tidak ada pemberi rizki kecuali Dia. Tidak ada yang menghidupkan dan mematikan kecuali Dia. Tidak ada yang mengatur alam kecuali Dia. Semua langit yang tujuh dan para penghuninya, bumi-bumi dan para penghuninya semuanya adalah hamba-hamba-Nya dan dalam kekuasaan-Nya dan kalau Anda menginginkan dalil bahwa mereka yang diperangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga meyakini seperti ini, bacalah ayat… (Kemudian beliau membawakan ayat-ayat tadi)”. (Lihat Kasyfusy Syubuhat halaman 9-10, ta’liq Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin)

Pemahaman menyimpang di atas terjadi pula pada Jama’ah Tabligh ini. Mereka menafsirkan kata Illah dalam syahadat dengan Rububiyah. Ini dinyatakan oleh Syaikh Hammud dan dialaminya sendiri oleh beliau serta teman-temannya yang lain ketika berdialog dengan salah seorang tokoh mereka ketika ditanyakan tentang makna Illah dalam syahadat.

Adapun dalam hal tauhid Asma’ was Shifat, di kalangan orang-orang tabligh ada yang berpemahaman Asy’ariyah dan Maturidiyah. Kedua madzhab ini termasuk dalam madzhab yang menyelisihi aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. (Al Qaulul Baligh hal: 8 )

Pengingkaran Jamaah Tabligh Terhadap ‘Uluwullah

Dalam kitab Al-Qaulul Baligh halaman 42-43 disebutkan kisah seorang pemimpin Jama’ah Tabligh di Saudi Arabia yang beraqidah Maturidiyah dan mengingkari ‘Uluwullah (sifat ketinggian bagi Allah di atas makhluk-Nya). Syaikh Hammud At-Tuwaijiri mengisahkan bahwa seorang guru di Jama’atul Islamiyah Madinah mengirim surat kepadanya. Dalam surat itu, guru tadi berkata: ‘Suatu kisah pernah saya alami, seseorang datang menemuiku hendak mengingkari kritikan saya terhadap Jama’ah Tabligh. Aku berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya mereka berpemahaman sufi dan Maturidiyah, mereka enggan mensifati Allah dengan sifat ‘Uluw’. Dia (seorang tablighi) berkata: ‘Apa buktinya’. Aku berkata kepadanya: ‘Pergilah dan buktikan sendiri!’. Maka dia pergi, selang beberapa hari dia datang kepadaku dan berkata: ‘Apa yang Anda katakan bahwa mereka tidak mengakui bahwa Allah di atas dan bersemayam (istiwa’) di atas ‘Arsy-Nya adalah benar. Aku bertanya kepadanya: ‘Bagaimana Anda bisa tahu hal itu?’. Dia berkata: ‘Aku mendatangi seorang pimpinan Tabligh yang bernama Sa’id Ahmad, dia sangat percaya kepadaku karena aku termasuk muridnya. Aku berkata kepadanya: ‘Aku benar-benar tidak meragukan keyakinan kita bahwa Allah ada di setiap tempat dan Dia tidak berada di atas langit. Akan tetapi dengan apa kita membantah orang yang mengatakan bahwa Allah di atas langit.? (Sa’id Ahmad) berkata: ‘Tinggalkanlah mereka dan tetaplah di atas aqidahmu karena itulah yang benar!”.

Perhatikanlah pentolan Tabligh ini! Dia dengan tegas mengatakan bahwa Allah berada di mana-mana dan tidak bersemayam di atas ‘Arsy-Nya. Bukankah keyakinan seperti ini menyimpang dari keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa Allah di atas seluruh makhluk-Nya, beristiwa’ di atas ‘Arsy-Nya, berada di atas langit-Nya, di atas makhluk-Nya, terpisah dari mereka, Dia mengetahui amalan-amalan mereka, mendengar ucapan-ucapan mereka, melihat gerak dan diamnya mereka, tidak ada yang tersembunyi bagi Allah sedikitpun. (Shifatullahi ‘Azza wa Jalla halaman 186)

Betapa banyak ayat dalam Al Qur’an yang menjelaskan tentang ‘Uluwullah, di antaranya Allah berfirman (yang artinya):”Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi”. (QS. Al A’la: 1)

”Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya” (QS. Al An’am: 18)

”Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang di atas langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang”. (QS. Al Mulk: 16)

”Tuhan Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy-Nya”. (QS. Thaha: 5)

Juga dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dijelaskan tentang ‘Uluwullah. Di antaranya kisah dialog Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan seorang budak wanita milik Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulami radliyallahu ‘anhu. Beliau bertanya kepada budak tersebut: “Di manakah Allah?” Dia menjawab: ‘Di atas langit’. Beliau bertanya lagi: “Siapakah aku?” Dia menjawab: ‘Engkau adalah Rasulullah’. Maka beliau berkata (kepada Mu’awiyah): “Merdekakanlah dia karena sesungguhnya dia adalah seorang perempuan Mukminah”. (HR. Ahmad dan Muslim)

Bandingkanlah antara budak wanita yang hidup di masa Rasulullah ini dengan tokoh Tabligh tersebut. Meskipun statusnya sebagai budak tetapi dia lebih pandai daripada tokoh Tabligh itu. Memang kesesatan itu tidak pandang bulu. Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjuki siapa yang Dia kehendaki dan menyesatkan siapa yang Dia kehendaki pula. Syaikh Hammud At Tuwaijiri mengomentari kisah tokoh Tabligh tadi: “Ini adalah penyimpangan terbesar dalam aqidah orang-orang Tabligh, yaitu mengingkari ‘Uluwullah di atas makhluk-Nya. Inilah madzhab Jahmiyah (para pengikut Jahm bin Shafwan yang mengingkari sifat ‘Uluwullah, pent.) yang dikafirkan oleh kebanyakan ulama Salaf.

Maka hendaknya orang-orang yang ingin bergabung dengan Jama’ah Tabligh mengambil pelajaran dari kisah seorang pimpinan Jama’ah mereka itu yang meyakini bahwa Allah berada di setiap tempat dan tidak berada di atas langit! Ini adalah kekufuran yang nyata karena bertentangan dengan dalil-dalil yang banyak dari Al Kitab, As Sunnah, dan ijma’ kaum Muslimin yang menyatakan bahwa Allah di atas seluruh makhluk-Nya dan Allah bersama makhluk dengan ilmu-Nya, pengawasan-Nya, dan peliputan-Nya. Hendaknya seorang Mukmin ‘yang menasehati dirinya’ berhati-hati untuk bergabung dengan orang-orang Tabligh yang mengingkari ketinggian Allah di atas makhluk-Nya dan menyangka bahwa Allah berada di setiap tempat. Maha Tinggi Allah dari apa-apa yang dikatakan oleh orang-orang yang dhalim”. (Al Qaulul Baligh halaman 43-44)

Jamaah Tabligh Mengagung-agungkan Kuburan

Termasuk kesesatan Tabligh dalam hal aqidah adalah mereka mendatangi kuburan tokoh-tokoh mereka kemudian berdoa dan menanti ilmu laduni (kasyaf, ilmu menyingkap rahasia-rahasia tersembunyi), karamah-karamah, dan ikatan batin dengan orang-orang yang ada di kuburan itu. Bukti atas ucapan ini adalah sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Aslam dalam kitabnya yang berjudul Jama’ah Tabligh ‘Aqidatuha wa Afkaru Masyayikhiha. Pengarang berkata pada halaman 3: “Bahwasanya tokoh utama orang-orang Tabligh, Muhammad Ilyas, duduk di belakang kuburan Abdul Quddus Al Kankuhi (seorang pemimpin tarikat Sufi beraliran Jistiyah) pada sebagian besar waktunya. Dan dia juga duduk berkhalwat (bersendiri) di dekat kuburan Sa’id Al Badayuni dan shalat jamaah di sana”. (Lihat Al Qaulul Baligh halaman 65)

Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan tokoh mereka ini adalah perbuatan syirik bahkan menyerupai perbuatan Yahudi dan Nashara. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda (yang artinya): “Laknat Allah terhadap Yahudi dan Nashara, mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid”. (Aisyah berkata): ‘Beliau memperingatkan apa yang mereka lakukan dan seandainya jika tidak ada (peringatan itu) niscaya kuburan beliau ditampakkan (ditinggikan) tetapi karena beliau takut kalau kuburannya dijadikan masjid (maka tidak ditampakkan)’. (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah radliyallahu ’anha)

Ketika Ummu Habibah dan Ummu Salamah menerangkan keadaan gereja yang berada di negeri Habasyah (Ethiopia), keduanya menyebutkan keindahannya dan gambar-gambar yang ada di dalamnya. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda (yang artinya): “Mereka adalah suatu kaum yang jika ada seorang yang shalih meninggal di antara mereka, mereka membangun masjid di atas kuburannya dan mereka membuat gambar-gambar itu (gambar orang shalih tersebut). Mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan: “Dengan sebab inilah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melarang menjadikan masjid-masjid di atas kuburan karena hal itu yang banyak menjerumuskan kebanyakan umat-umat ke dalam syirik akbar dan yang lebih rendah/hina dari itu. Sesungguhnya jiwa-jiwa manusia akan berbuat kesyirikan terhadap patung orang-orang shalih dan gambar-gambar yang dianggap sebagai mantera-mantera dan yang semacamnya. Kesyirikan karena adanya kuburan seseorang yang diyakini keshalihannya adalah lebih dekat kepada jiwa-jiwa manusia dibanding kesyirikan karena mengagungkan sebuah pohon atau sebuah batu. Oleh karena itu, Anda akan menjumpai orang-orang yang berbuat syirik, merendahkan diri, khusyu’, hening, dan menunaikan ibadah di kuburan-kuburan tersebut yang tidak mereka lakukan ketika berada di rumah-rumah Allah dan di waktu sahur.

Di antara mereka ada yang sujud kepada kuburan itu. Dan kebanyakan mereka mengharapkan barakah shalat dan berdoa di tempa itu apa yang mereka tidak harapkan ketika di masjid-masjid. Karena kerusakan itulah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memutuskan penyebab utamanya. Hingga beliau melarang shalat di kuburan secara mutlak. Walaupun orang yang shalat di situ tidak mengharapkan barakah tempat tersebut sebagaimana ketika shalat di masjid. Sebagaimana beliau melarang shalat ketika matahari terbit dan ketika terbenam. Karena waktu-waktu itu adalah waktu shalat bagi kaum musyrikin kepada matahari. Maka beliau melarang umatnya shalat ketika itu meskipun ia tidak bermaksud sebagaimana tujuan kaum musyrikin, (hal ini dilakukan) dalam rangka menutup jalan menuju larangan.

Adapun jika seseorang shalat di sisi kuburan dengan tujuan mencari barakah di tempat itu maka ini benar-benar menentang Allah dan Rasul-Nya, menyelisihi agama Rasul dan melakukan kebid’ahan dalam agama yang tidak pernah diizinkan oleh Allah. Karena kaum Muslimin telah sepakat berdasarkan apa yang mereka ketahui dari agama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwa shalat di sisi kuburan adalah terlarang dan bahwasanya beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melaknat orang yang menjadikan kuburan sebagai tempat sujud. Karena termasuk kebid’ahan terbesar dan sebab-sebab perbuatan syirik adalah shalat di sisi kuburan, menjadikannya sebagai tempat sujud, dan membangun masjid-masjid di atasnya. Telah mutawatir dalil-dalil dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam akan larangan dan sikap keras beliau terhadap (orang yang) membangun masjid di atas kuburan dan sujud di sisinya”. (Lihat Fathul Majid halaman 275-276)

Keterkaitan Jama’ah Tabligh Dengan Jimat-Jimat

Di antara kesyirikan-kesyirikan yang tersebar di kalangan Jama’ah Tabligh adalah menggantungkan jimat-jimat yang berisi mantera-mantera, nama-nama yang asing, nomor-nomor atau rumus-rumus yang aneh yang tidak terlepas dari permintaan, pertolongan, dan perlindungan kepada selain Allah. (Lihat Al Qaulul Baligh halaman 13)

Tidakkah mereka mengetahui bahwa memakai jimat-jimat hukumnya haram dan termasuk syirik asghar. Bahkan bisa menjadi syirik akbar jika seandainya orang yang memakainya bergantung sepenuhnya kepada jimat-jimat tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa menggantungkan jimat-jimat maka sungguh dia telah berbuat syirik”. (HR. Ahmad dan Al Hakim dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Shahihah nomor 492)

Dan sungguh keras ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap orang-orang yang berbuat syirik. Allah berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah maka pasti Allah mengharamkan padanya Surga dan tempatnya ialah di neraka, tidaklah ada bagi orang yang dhalim itu seorang penolong pun”. (QS. Al Maidah: 72)

Penutup

Dari sejumlah penyimpangan-penyimpangan yang telah disebutkan di atas, cukup bagi kita untuk menilai sampai sejauh mana jama’ah ini menyeleweng dari aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ahlus Sunnah wal Jama’ah sangatlah memperhatikan perbaikan perkara aqidah di tengah umat ini. Bahkan yang pertama kali mereka (Ahlus Sunnah) dakwahkan adalah bagaimana mengaplikasikan penghambaan seseorang kepada Allah semata dan menjauhkannya dari segala kesyirikan dan penghambaan kepada selainAllah.

Adapun Jama’ah Tabligh tidak menghiraukan sama sekali perkara aqidah. Sehingga tak heran kalau mereka tidak memahami makna hakiki dari kalimat tauhid Laa Ilaaha Illallah. Bahkan mereka (Jama’ah Tabligh) menghalang-halangi orang-orang yang berdakwah kepada tauhid dan menganggap dakwah tauhid adalah dakwah pemecah-belah umat.

Asas dakwah Jama’ah Tabligh dibangun di atas kejahilan dan kebodohan. Mereka menghalang-halangi para pemuda untuk menuntut ilmu agama dan menganggap bahwa ilmu agama itu bisa didapatkan dengan melakukan khuruj fi sabilihim (keluar berdakwah di jalan mereka bukan di jalan Allah) tanpa mendatangi para ulama dan menuntut ilmu dari mereka. Akibatnya, kesyirikan-kesyirikan, khurafat-khurafat, dan kebid’ahan-kebid’ahan tumbuh subur di kalangan mereka. Dan hasil dari dakwah yang berdiri di atas kebodohan adalah kebodohan pula, tidak ada yang lain.

Maka penulis menasehatkan kepada seluruh pembaca agar berhati-hati dari Jama’ah Tabligh atau seluruh jama’ah-jama’ah yang menyimpang dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah As Salafiyah Al Firqatun Najiyah Ath Tha’ifah Al Manshurah. Di hadapan kita banyak dai-dai yang mengajak kepada kesesatan sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika menafsirkan ayat: “Dan bahwasanya inilah jalanku yang lurus maka ikutilah dia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa”. (QS. Al An’am: 153)

Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata: ‘Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menggaris sebuah garis dengan tangannya kemudian berkata: “Inilah jalan Allah yang lurus”. Kemudian beliau menggaris sejumlah garis di sebelah kanan dan kiri garis itu kemudian bersabda: “Dan inilah jalan-jalan, tidaklah setiap jalan kecuali terdapat syaitan yang mengajak kepadanya”. (HR. Ahmad, Nasa’i, dan Al Hakim dan dishahihkan oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi)

Wallahu A’lam Bish Shawab.

Sumber:

http://assunnah.cjb.net/

http://ibnusarijan.blogspot.com/