Kedudukan Ulama’ dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah

15 03 2009

new1a

Penulis : Al-Ustadz Abul ‘Abbas Muhammad Ihsan

Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak menyebutkan keutamaan ilmu dan ahlul ilmi dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu syar’i.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata (Kitabul ‘Ilmi, hal. 13): “Yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berupa bayyinah (penjelas) dan huda (petunjuk). Maka, ilmu yang mengandung pujian dan keutamaan adalah ilmu wahyu, ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِهْهُ فِي الدِّينِ

“Barangsiapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki kebaikan baginya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menfaqihkan (menjadikan dia paham) akan agama.” (Muttafaqun ‘alaih dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu)

وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Dan sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi. Dan sungguh para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, hanya saja mereka mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya (ilmu tersebut) berarti dia telah mengambil bagian ilmu yang banyak.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6298 dari Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata (Syarh Riyadhish Shalihin, 3/434): “Tidaklah mewarisi dari para nabi kecuali para ulama. Maka merekalah pewaris para nabi. Merekalah yang mewarisi, ilmu, amal dan tugas membimbing umat kepada syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Oleh karena itu, termasuk perkara yang sangat penting untuk kita ketahui dan pahami adalah manzilah (kedudukan) ahlul ilmi yang mulia di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga kita bisa beradab terhadap mereka, menghargai mereka dan menempatkan mereka pada kedudukannya. Itulah tanda barakahnya ilmu dan rasa syukur kita dengan masih banyaknya para ulama di zaman ini.

Baca entri selengkapnya »





PEMBELAAN DAN NASEHAT TERHADAP KAUM MUSLIMIN DI PALESTINA

17 01 2009

new1a

الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن واله وأشهد أن لاإله الا الله وحده لاشريك وله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله ….

Bertolak dari sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam :

(( الدين النصيحة .. قلنا لمن .. قال لله ولرسله ولكتبه ولائمة المسلمين وعامتهم )) رواه مسلم من حديث تميم الداري

“Agama adalah nasehat. Para shahabat bertanya, ‘Untuk siapa wahai Rasulullah?’ beliau menjawab : “Untuk Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya, dan untuk para pimpinan kaum muslimin serta keumuman mereka.” [HR. Muslim dari shahabat Tamim Ad-Dari]

Baca entri selengkapnya »





Tidak Ada Bid’ah Hasanah..!!!

16 01 2009

new1a

Oleh: Ustadz Abu Muawiah

Tidak Ada Bid’ah Hasanah

Pendapat yang mengatakan adanya bid’ah hasanah (yang baik) dalam Islam termasuk fitnah dan musibah terbesar dari berbagai macam fitnah dan musibah yang menimpa ummat ini. Bagaimana tidak, perkataan ini pada akhirnya akan menghalalkan semua bentuk bid’ah dalam agama yang pada gilirannya akan merubah syari’at-syari’at agama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah dibakukan tatkala Dia mewafatkan Nabi-Nya Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Yang lebih celaka lagi, fitnah ini telah memakan banyak korban tanpa pandang bulu, mulai dari orang awwam yang tidak paham tentang agama sampai seorang yang dianggap tokoh agama yang telah meraih berbagai macam gelar –baik yang resmi maupun yang tidak- dalam ilmu agama Islam, semuanya berpendapat akan adanya bid’ah yang baik dalam Islam. Maka betapa buruknya nasib umat ini bila orang-orang yang membimbing mereka, yang mereka anggap tokoh agama berpendapat dengan pendapat ‘aneh’ seperti ini, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Sumber:
http://al-atsariyyah.com/





AL MADRASAH AS SALAFIYYAH

11 01 2009

new1a

PENERIMAAN SANTRI MA’HAD AL MADRASAH
AS SALAFIYYAH DEPOK

Jl. Saidan No.24 Tanah Baru, Beji, Depok Telp. (021) 7757586

بسم الله الرحمن الرحيم

Dengan mengharap ridho dari Allah Subhanahu Wata’ala, Al Madrasah As Salafiyyah Depok membuka kesempatan kepada seluruh Ikhwan untuk mengikuti Program Pendidikan Lanjutan (TAKHASUS) 1430 H / 2009.

Program ini diperuntukkan bagi Ikhwan yang memiliki semangat belajar tinggi dan mempunyai kemampuan bahasa Arab dasar. Lama pendidikan yang direncanakan 1 tahun.

Materi:

Bahasa Arab, Aqidah, Fiqh, Tauhid, Hadits, Ushul Fiqh, Qowaid Fiqhiyah, Ushul Tafsir, Ushul Hadits, dll.

Pengajar:

Al-Ustadz Abdul Baar, Al-Ustadz Jafar Salih, Al-Ustadz Ayub.
Syarat:

1. Telah menguasai bahasa Arab dasar.
2. Mendapat ijin dari orang tua
3. Lulus tes.

Pendaftaran :

Mulai tanggal 5 Januari 2009 ditutup tanggal 24 Januari 2009.

Tempat : Ma’had Al Madrasah As Salafiyyah Depok, Jl. Saidan no.24 Tanah Baru Beji Depok

Telepon : (021) 7757586

Contact Person : Dzulfikri 081210750874 Kunawi 08561353440

Tes akan dilaksanakan tanggal 28 – 29 Januari 2009.

Mulai Pendidikan Insya Allah tanggal 9 Februari 2009.

Keterangan tambahan :

1. Kapasitas santri yang diterima dan tinggal di pondok : 20 orang.
2. Santri yang tinggal di pondok membayar iuran untuk keperluan harian santri sebesar Rp. 50,000 per bulan.
3. Dibuka kesempatan juga bagi Ikhwan yang tinggal di luar pondok untuk mengikuti program ini dengan syarat mendaftarkan diri dan lulus tes.

Mudir Al Madrasah As Salafiyyah Depok

Al-Ustadz Abdul Barr

dari: Abdurrakhman’s blog





BONGKAR KESESATAN (AGAMA) SYI’AH

8 01 2009

new1a

Membongkar Kesesatan Syiah


Penulis : Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari, Lc.


Serupa tapi tak sama. Barangkali ungkapan ini tepat untuk menggambarkan Islam dan kelompok Syi’ah. Secara fisik, memang sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi’ah. Namun jika ditelusuri -terutama dari sisi aqidah- perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga, tidak mungkin disatukan.

Apa Itu Syi’ah?
Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu’ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji)
Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm)
Syi’ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok ini terpecah menjadi lima sekte yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat, dan Isma’iliyyah. Dari kelimanya, lahir sekian banyak cabang-cabangnya. (Al-Milal Wan Nihal, hal. 147, karya Asy-Syihristani)
Dan tampaknya yang terpenting untuk diangkat pada edisi kali ini adalah sekte Imamiyyah atau Rafidhah, yang sejak dahulu hingga kini berjuang keras untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Dengan segala cara, kelompok sempalan ini terus menerus menebarkan berbagai macam kesesatannya. Terlebih lagi kini didukung dengan negara Iran-nya.
Rafidhah , diambil dari yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna , meninggalkan (Al-Qamus Al-Muhith, hal. 829). Sedangkan dalam terminologi syariat bermakna: Mereka yang menolak imamah (kepemimpinan) Abu Bakr dan ‘Umar c, berlepas diri dari keduanya, dan mencela lagi menghina para shahabat Nabi . (Badzlul Majhud fi Itsbati Musyabahatir Rafidhati lil Yahud, 1/85, karya Abdullah Al-Jumaili)
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu? Maka beliau menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan ‘Umar’.” (Ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hal. 567, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)
Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86)
Asy-Syaikh Abul Hasan Al-Asy’ari berkata: “Zaid bin ‘Ali adalah seorang yang melebihkan ‘Ali bin Abu Thalib atas seluruh shahabat Rasulullah, mencintai Abu Bakr dan ‘Umar, dan memandang bolehnya memberontak1 terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka ia katakan kepada mereka:

“Kalian tinggalkan aku?” Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii.” (Maqalatul Islamiyyin, 1/137). Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (13/36).
Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah membenci Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah.
Rafidhah ini terpecah menjadi beberapa cabang, namun yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan kali ini adalah Al-Itsna ‘Asyariyyah.

Siapakah Pencetusnya?
Pencetus pertama bagi faham Syi’ah Rafidhah ini adalah seorang Yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin Saba’ Al-Himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan ‘Utsman bin Affan.2
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Asal Ar-Rafdh ini dari munafiqin dan zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, pen). Pencetusnya adalah Abdullah bin Saba’ Az-Zindiq. Ia tampakkan sikap ekstrim di dalam memuliakan ‘Ali, dengan suatu slogan bahwa ‘Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa, pen).” (Majmu’ Fatawa, 4/435)

Sesatkah Syi’ah Rafidhah ?
Berikut ini akan dipaparkan prinsip (aqidah) mereka dari kitab-kitab mereka yang ternama, untuk kemudian para pembaca bisa menilai sejauh mana kesesatan mereka.

a. Tentang Al Qur’an
Di dalam kitab Al-Kaafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih Al-Bukhari di sisi kaum muslimin), karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini (2/634), dari Abu Abdullah (Ja’far Ash-Shadiq), ia berkata : “Sesungguhnya Al Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad  (ada) 17.000 ayat.”
Di dalam Juz 1, hal 239-240, dari Abu Abdillah ia berkata: “…Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah ‘alaihas salam, mereka tidak tahu apa mushaf Fathimah itu. Abu Bashir berkata: ‘Apa mushaf Fathimah itu?’ Ia (Abu Abdillah) berkata: ‘Mushaf 3 kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari Al Qur’an kalian…’.”
(Dinukil dari kitab Asy-Syi’ah Wal Qur’an, hal. 31-32, karya Ihsan Ilahi Dzahir).
Bahkan salah seorang “ahli hadits” mereka yang bernama Husain bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi telah mengumpulkan sekian banyak riwayat dari para imam mereka yang ma’shum (menurut mereka), di dalam kitabnya Fashlul Khithab Fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, yang menjelaskan bahwa Al Qur’an yang ada ini telah mengalami perubahan dan penyimpangan.

b. Tentang shahabat Rasulullah
Diriwayatkan oleh Imam Al-Jarh Wat Ta’dil mereka (Al-Kisysyi) di dalam kitabnya Rijalul Kisysyi (hal. 12-13) dari Abu Ja’far (Muhammad Al-Baqir) bahwa ia berkata: “Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi, dalam keadaan murtad kecuali tiga orang,” maka aku (rawi) berkata: “Siapa tiga orang itu?” Ia (Abu Ja’far) berkata: “Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi…” kemudian menyebutkan surat Ali Imran ayat 144. (Dinukil dari Asy-Syi’ah Al-Imamiyyah Al-Itsna ‘Asyariyyah Fi Mizanil Islam, hal. 89)
Ahli hadits mereka, Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini berkata: “Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad kecuali tiga orang: Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi.” (Al-Kafi, 8/248, dinukil dari Asy-Syi’ah Wa Ahlil Bait, hal. 45, karya Ihsan Ilahi Dzahir)
Demikian pula yang dinyatakan oleh Muhammad Baqir Al-Husaini Al-Majlisi di dalam kitabnya Hayatul Qulub, 3/640. (Lihat kitab Asy-Syi’ah Wa Ahlil Bait, hal. 46)
Adapun shahabat Abu Bakr dan ‘Umar, dua manusia terbaik setelah Rasulullah , mereka cela dan laknat. Bahkan berlepas diri dari keduanya merupakan bagian dari prinsip agama mereka. Oleh karena itu, didapati dalam kitab bimbingan do’a mereka (Miftahul Jinan, hal. 114), wirid laknat untuk keduanya:

Ya Allah, semoga shalawat selalu tercurahkan kepada Muhammad dan keluarganya, laknatlah kedua berhala Quraisy (Abu Bakr dan Umar), setan dan thaghut keduanya, serta kedua putri mereka…(yang dimaksud dengan kedua putri mereka adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah dan Hafshah)
(Dinukil dari kitab Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 18, karya As-Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib)
Mereka juga berkeyakinan bahwa Abu Lu’lu’ Al-Majusi, si pembunuh Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab, adalah seorang pahlawan yang bergelar “Baba Syuja’uddin” (seorang pemberani dalam membela agama). Dan hari kematian ‘Umar dijadikan sebagai hari “Iedul Akbar”, hari kebanggaan, hari kemuliaan dan kesucian, hari barakah, serta hari suka ria. (Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 18)
Adapun ‘Aisyah dan para istri Rasulullah  lainnya, mereka yakini sebagai pelacur -na’udzu billah min dzalik-. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab mereka Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal (hal. 57-60) karya Ath-Thusi, dengan menukilkan (secara dusta) perkataan shahabat Abdullah bin ‘Abbas terhadap ‘Aisyah: “Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah…” (Dinukil dari kitab Daf’ul Kadzibil Mubin Al-Muftara Minarrafidhati ‘ala Ummahatil Mukminin, hal. 11, karya Dr. Abdul Qadir Muhammad ‘Atha)
Demikianlah, betapa keji dan kotornya mulut mereka. Oleh karena itu, Al-Imam Malik bin Anas berkata: “Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menghabisi Nabi  namun tidak mampu. Maka akhirnya mereka cela para shahabatnya agar kemudian dikatakan bahwa ia (Nabi Muhammad  ) adalah seorang yang jahat, karena kalau memang ia orang shalih, niscaya para shahabatnya adalah orang-orang shalih.” (Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimirrasul, hal. 580)

c. Tentang Imamah (Kepemimpinan Umat)
Imamah menurut mereka merupakan rukun Islam yang paling utama3. Diriwayatkan dari Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (2/18) dari Zurarah dari Abu Ja’far, ia berkata: “Islam dibangun di atas lima perkara:… shalat, zakat, haji, shaum dan wilayah (imamah)…” Zurarah berkata: “Aku katakan, mana yang paling utama?” Ia berkata: “Yang paling utama adalah wilayah.” (Dinukil dari Badzlul Majhud, 1/174)
Imamah ini (menurut mereka -red) adalah hak ‘Ali bin Abu Thalib  dan keturunannya sesuai dengan nash wasiat Rasulullah . Adapun selain mereka (Ahlul Bait) yang telah memimpin kaum muslimin dari Abu Bakr, ‘Umar dan yang sesudah mereka hingga hari ini, walaupun telah berjuang untuk Islam, menyebarkan dakwah dan meninggikan kalimatullah di muka bumi, serta memperluas dunia Islam, maka sesungguhnya mereka hingga hari kiamat adalah para perampas (kekuasaan). (Lihat Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 16-17)
Mereka pun berkeyakinan bahwa para imam ini ma’shum (terjaga dari segala dosa) dan mengetahui hal-hal yang ghaib. Al-Khumaini (Khomeini) berkata: “Kami bangga bahwa para imam kami adalah para imam yang ma’shum, mulai ‘Ali bin Abu Thalib hingga Penyelamat Umat manusia Al-Imam Al-Mahdi, sang penguasa zaman -baginya dan bagi nenek moyangnya beribu-ribu penghormatan dan salam- yang dengan kehendak Allah Yang Maha Kuasa, ia hidup (pada saat ini) seraya mengawasi perkara-perkara yang ada.” (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 5, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/192)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Minhajus Sunnah, benar-benar secara rinci membantah satu persatu kesesatan-kesesatan mereka, terkhusus masalah imamah yang selalu mereka tonjolkan ini.
d. Tentang Taqiyyah
Taqiyyah adalah berkata atau berbuat sesuatu yang berbeda dengan keyakinan, dalam rangka nifaq, dusta, dan menipu umat manusia. (Lihat Firaq Mu’ashirah, 1/195 dan Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyyah, hal. 80)
Mereka berkeyakinan bahwa taqiyyah ini bagian dari agama. Bahkan sembilan per sepuluh agama. Al-Kulaini meriwayatkan dalam Al-Kaafi (2/175) dari Abu Abdillah, ia berkata kepada Abu Umar Al-A’jami: “Wahai Abu ‘Umar, sesungguhnya sembilan per sepuluh dari agama ini adalah taqiyyah, dan tidak ada agama bagi siapa saja yang tidak ber-taqiyyah.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/196). Oleh karena itu Al-Imam Malik ketika ditanya tentang mereka beliau berkata: “Jangan kamu berbincang dengan mereka dan jangan pula meriwayatkan dari mereka, karena sungguh mereka itu selalu berdusta.” Demikian pula Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah dalam persaksian palsu.” (Mizanul I’tidal, 2/27-28, karya Al-Imam Adz-Dzahabi)

e. Tentang Raj’ah
Raj’ah adalah keyakinan hidupnya kembali orang yang telah meninggal. ‘Ahli tafsir’ mereka, Al-Qummi ketika menafsirkan surat An-Nahl ayat 85, berkata: “Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah raj’ah, kemudian menukil dari Husain bin ‘Ali bahwa ia berkata tentang ayat ini: ‘Nabi kalian dan Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) serta para imam ‘alaihimus salam akan kembali kepada kalian’.” (Dinukil dari kitab Atsarut Tasyayyu’ ‘Alar Riwayatit Tarikhiyyah, hal. 32, karya Dr. Abdul ‘Aziz Nurwali)

f. Tentang Al-Bada’
Al-Bada’ adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Mereka berkeyakinan bahwa Al-Bada’ ini terjadi pada Allah . Bahkan mereka berlebihan dalam hal ini. Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (1/111), meriwayatkan dari Abu Abdullah (ia berkata): “Tidak ada pengagungan kepada Allah yang melebihi Al-Bada’.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/252). Suatu keyakinan kafir yang sebelumnya diyakini oleh Yahudi4.
Demikianlah beberapa dari sekian banyak prinsip Syi’ah Rafidhah, yang darinya saja sudah sangat jelas kesesatan dan penyimpangannya. Namun sayang, tanpa rasa malu Al-Khumaini (Khomeini) berkata: “Sesungguhnya dengan penuh keberanian aku katakan bahwa jutaan masyarakat Iran di masa sekarang lebih utama dari masyarakat Hijaz (Makkah dan Madinah, pen) di masa Rasulullah , dan lebih utama dari masyarakat Kufah dan Iraq di masa Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) dan Husein bin ‘Ali.” (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 16, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 192)

Perkataan Ulama tentang Syi’ah Rafidhah
Asy-Syaikh Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili di dalam kitabnya Al-Intishar Lish Shahbi Wal Aal (hal. 100-153) menukilkan sekian banyak perkataan para ulama tentang mereka. Namun dikarenakan sangat sempitnya ruang rubrik ini, maka hanya bisa ternukil sebagiannya saja.
1. Al-Imam ‘Amir Asy-Sya’bi berkata: “Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih dungu dari Syi’ah.” (As-Sunnah, 2/549, karya Abdullah bin Al-Imam Ahmad)
2. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri ketika ditanya tentang seorang yang mencela Abu Bakr dan ‘Umar, beliau berkata: “Ia telah kafir kepada Allah.” Kemudian ditanya: “Apakah kita menshalatinya (bila meninggal dunia)?” Beliau berkata: “Tidak, tiada kehormatan (baginya)….” (Siyar A’lamin Nubala, 7/253)
3. Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i, telah disebut di atas.
4. Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku tidak melihat dia (orang yang mencela Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Aisyah) itu orang Islam.” (As-Sunnah, 1/493, karya Al-Khallal)
5. Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Bagiku sama saja apakah aku shalat di belakang Jahmi, dan Rafidhi atau di belakang Yahudi dan Nashara (yakni sama-sama tidak boleh -red). Mereka tidak boleh diberi salam, tidak dikunjungi ketika sakit, tidak dinikahkan, tidak dijadikan saksi, dan tidak dimakan sembelihan mereka.” (Khalqu Af’alil ‘Ibad, hal. 125)
6. Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi berkata: “Jika engkau melihat orang yang mencela salah satu dari shahabat Rasulullah , maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Yang demikian itu karena Rasul bagi kita haq, dan Al Qur’an haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al Qur’an dan As Sunnah adalah para shahabat Rasulullah . Sungguh mereka mencela para saksi kita (para shahabat) dengan tujuan untuk meniadakan Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka (Rafidhah) lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah zanadiqah.” (Al-Kifayah, hal. 49, karya Al-Khathib Al-Baghdadi)
Demikianlah selayang pandang tentang Syi’ah Rafidhah, mudah-mudahan bisa menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran…Amin.




Sumber: http:://asysyariah.com/

Catatan: untuk mengenal kebobrokan dan kebusukan agama mereka bisa antum buka disini





BEDA ISLAM dengan SYI’AH

8 01 2009

new1a

Antara Syiah dengan Islam

Mayoritas penduduk Iran menganut paham Syiah, demikian juga Irak serta beberapa negara lainnya. Kita juga kadang mendengar terjadi bentrok antara Sunni dengan Syiah. Sebenarnya apa sih paham Syiah itu? mari kita baca artikel di bawah ini!

Penulis: Al Ustadz Ja’far Sholih

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (Qs. An-Nisaa: 135) Baca entri selengkapnya »





ORANG YANG TIDAK BOLEH DIAMBIL ILMUNYA

1 01 2009

Penulis: Tim Redaksi Asy Syariah

Abdurrahman bin Mahdi rahimahullahu berkata:

“Ada tiga (golongan) yang tidak boleh diambil ilmunya, (yakni):

(1) Seseorang yang tertuduh dengan kedustaan,

(2) Ahlul bid’ah yang mengajak (manusia) kepada kebid’ahannya, dan

(3) seseorang yang dirinya didominasi oleh keraguan serta kesalahan-kesalahan.”

Al-Imam Malik rahimahullahu berkata:

“Tidak boleh seseorang mengambil ilmu dari empat (jenis manusia) dan boleh mengambilnya dari selain mereka (yaitu):

(1) Ilmu tidak diambil dari orang-orang bodoh,

(2) Tidak diambil dari pengekor hawa nafsu yang menyeru manusia kepada hawa nafsunya,

(3) Tidak pula dari seorang pendusta yang biasa berdusta dalam pembicaraan-pembicaraan manusia meskipun tidak tertuduh berdusta pada hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

(4) Tidak pula dari seorang syaikh yang memiliki keutamaan, keshalihan serta ahli ibadah tetapi dia tidak lagi mengetahui apa yang tengah dibicarakannya.”

(An-Nubadz fi ‘Adab Thalabil ‘Ilmi, hal. 22-23)

sumber:

http://asysyariah.com/





TOKOH PENYESAT UMAT

31 12 2008

Tokoh Penyesat Umat

Oleh: Abu Muhammad Abdul Mu’thi Al Maidani

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadits:

(يَتَقَارَبُ الزّمَانُ، وَيَنْقُصُ العلم، وَيُلْقَىَ الشُّحُّ، وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ، وَيَكْثُرُ الْهَرْجُ). قالوا: يَا رَسُولَ اللهِ، أيُّمَا هُوَ؟ قَالَ: (الْقَتْلُ الْقَتْلُ).

“Masa saling berdekatan, ilmu berkurang, kepelitan tersebar, berbagai fitnah muncul, dan banyak kekacauan.” Mereka bertanya: ”wahai Rasulullah, apakah kekacauan itu?’ Beliau menjawab: “pembunuhan demi pembunuhan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu)
Disini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberitakan tentang sebuah masa yang sangat buruk. Di mana ilmu berkurang, kepelitan tersebar, serta muncul berbagai fitnah, dan kekecauan. Masa kita ini adalah saat yang tepat untuk kita memahami hadits diatas. Di zaman ini, ilmu telah sedemikian berkurang, sehingga sangat langka untuk kita temui di tengah masyarakat muslimin, seorang yang bisa disebut sebagai ulama. Kondisi ini semakin diperparah dengan kemunculan berbagai fitnah dan kekacauan di tengah-tengah mereka.

Termasuk yang perlu kita waspadai di masa ini dari sekian fitnah dan keributan yang terjadi adalah para tokoh penyesat umat.

Di dalam hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَإِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي َاْلأَئِمَةَ الْمُضِلِّينَ

“Hanya saja yang aku khawatirkan atas umatku adalah para pemimpin (baca: tokoh) yang menyesatkan.” (HR. Ahmad dan Ad-Darimi dengan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Al Imam Muslim, sebagaimana yang dikatakan oleh syaikh Al Albani rahimahullah dalam As-Shahihah 4/110)
Dalam hadits diatas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggunakan kata ‘hanya saja’ menunjukkan bahwa kekhawatiran beliau terhadap para pemimpin (baca:tokoh) yang menyesatkan sedemikian kuat. Karena mereka adalah bahaya laten bagi kaum muslimin. Mereka sangat mampu untuk menyesat umat ini dari jalan Allah.
Allah berfirman mengenai orang-orang yang binasa:

وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا

“Dan mereka berkata: “Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah menta`ati para pemimpin dan pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (Al-Ahzab: 67)
Maka kita perlu berhati-hati dari bahaya laten para tokoh yang menyesatkan. Mereka memiliki lisan yang mampu untuk menyesatkan umat dengan mengolah kata dan bersilat lidah. Demikianlah keadaan mereka.
Maka ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya oleh Ziyad bin Fudhail:
“Apa yang dapat menghancurkan Islam?” ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Yang menghancurkan Islam adalah ketergelinciran seorang yang ‘alim, dan seorang munafik yang berdebat dengan menggunakan al-kitab.”
Ini adalah bahaya laten bagi kaum muslimin. Mereka akan menyesatkan kaum muslimin dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menggunakan dalil-dalil syar’i namun bukan pada tempatnya. Demi Allah, pada masa ini, masyarakat kita dikepung oleh tipikal-tipikal pemimpin maupun tokoh yang seperti ini. Menyeruak di sekitar mereka, para ulama su` (jahat) yang dengan segala kelihain dan kelicikan, menyesatkan umat dengan berbagai syubhat dan kerancuan pemikiran. Oleh karena itu, kita dituntut untuk mewaspadai suasana genting ini, dengan mempelajari agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dari para ulama yang mengamalkan dan memperjuangkan agama Allah dengan segala yang mereka miliki. Inilah satu-satunya penanganan yang paling efektif dalam menanggulangi gejolak fitnah yang sedahsyat itu.
Berapa banyak orang yang menyuarakan kebenaran, namun sedikit diantara mereka yang bisa menunjukkan bahwa yang benar itu adalah benar, dan dia benar-benar di atas yang benar . Oleh sebab itu, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menegaskan: “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi dia tidak mendapatkannya.”
Para pemimpin atau tokoh penyesat umat lebih berbahaya bagi kaum muslimin daripada musuh-musuh Allah yang menyerang dari luar lingkup kaum muslimin. Apakah mereka dari kalangan Yahudi maupun Nashara. Kalau mereka dari kalangan orang-orang yang kafir, tentunya kebanyakan kaum muslimin waspada terhadap berbagai makar mereka. Namun bagaimana dengan musuh dalam selimut yang berbaju sama, berkopiah sama, dan berpenampilan sama seperti kaum muslimin, bahkan beramal pada sebagian amalan, sama seperti kaum muslimin. Mereka shalat seperti kaum muslimin, dan berbicara dengan lisan/bahasa kaum muslimin. Akan tetapi mereka adalah para penyeru kepada neraka jahannam.
Di dalam hadits Hudzaifah bin Al Yamaan radhiyallahu ’anhu disebutkan:

(نَعَمْ، دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ، مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا). قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، صِفْهُمْ لَنَا؟ فَقَالَ: (هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا، وَيَتَكَلَّمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا).

“Ya, para da’i yang mengajak kepada pintu-pintu neraka jahannam. Barangsiapa yang memehuhi panggilan mereka, mereka akan mencampakkannya ke dalam neraka jahanam itu.” Aku bertanya: “wahai Rasulullah! Sebutkan ciri-ciri mereka kepada kami”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Mereka dari jenis kita dan berbicara dengan lisan-lisan (bahasa-bahasa) kita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Inilah bahaya laten yang sangat kejam dalam membinasakan kaum muslimin . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ

“Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa ilmu.” (Al-An’am: 119)

بَلِ اتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَهْوَاءَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَمَنْ يَهْدِي مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

“Tetapi orang-orang yang dzalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan, maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan oleh Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun.” (Ar-Rum: 29)
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari kejahatan para tokoh penyesat umat. Wallahu a’lam bish shawab

Sumber:

http://alhujjah.wordpress.com/





KASYFU SYUBHAT 6

30 12 2008

Kasyfu Syubhat adalah kitab yang mengungkap kebathilan penentang Tauhid Bag.Terakhir (6)

Berkata Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –Rahimahullah- dalam kitab Kasyfu syubhat:”Dan orang-orang musyrik itu masih mempunyai syubhat lain. Yaitu apa yang pernah disebutkan oleh nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya manusia nanti dihari kiamat akan baristighatsah (meminta pertolongan) kepada Nabi Adam ‘alaihi wasallam, kemudian kepada Nabi Nuh ‘alaihi wasallam, kemudian kepada Nabi Ibrahim ‘alaihi wasallam, kemudian kepada Nabi Musa ‘alaihi wasallam, kemudian kepada Nabi Isa ‘alaihi wasallam, Lalu semuanya tidak dapat melakukan sehingga akhirnya mereka sampai ke Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Orang-orang musyrik itu mengatakan: “hal itu menunjukkan, bahwasanya istighatsah kepada selain Allah itu tidak Syirik”.

Sebagai jawabannya, hendaklah kita katakan: “Maha Suci Allah Yang Mengunci mati hati musuh-musuh-Nya. Sesungguhnya istighatsah kepada makhluk dalam hal yang dia mampu, kami tidak memungkirinya, sebagaimana firman Allah tentang kisah nabi Musa ‘alaihi wasallam:

فَٱسۡتَغَـٰثَهُ ٱلَّذِى مِن شِيعَتِهِۦ عَلَى ٱلَّذِى مِنۡ عَدُوِّهِ

“Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan (beristightsah) kepadanya, atas orang yang dari musuhnya.” (QS. Al Qashash:15).

Dan sebagaimana seseorang meminta pertolongan kepada teman-temannya dalam peperangan atau hal lain yang makhluk mampu mengerjakannya. Kami hanya mengingkari istightsah Al-ibadah (istightsah yang bersifat penyembahan) yang mereka lakukan di sisi kuburan-kuburan para wali atau istightsah kepada wali itu di saat para wali itu di tempat yang jauh, bukan di hadapannya, dalam hal-hal yang tidak ada seorangpun mampu atas hal itu kecuali Allah.

Jika ini telah tegas, maka istightsah mereka kepada para Nabi di hari kiamat seraya menginginkan dari nabi-nabi itu untuk berdo’a kepada Allah agar segera melakukan hisab kepada manusia sehingga penduduk syurga dapat beristirahat terlepas dari susah dan payahnya keadaan waktu itu.

Hal ini memang boleh di dunia dan di akhirat. Yaitu, misalnya; anda datang kepada seorang yang shaleh yang masih hidup, dia duduk mendampingi anda dan mendengarkan perkataan anda, anda mengatakan kepadanya: “Berdo’alah kepada Allah untukku”, sebagaimana dahulu para sahabat Rasulullah memohon hal itu kepada beliau shalallahu ‘alaihi wasallam di saat beliau hidup.

Sedangkan sesudah beliau wafat, sekali-kali tidak dan sekali-kali tidak, dan tidaklah para sahabat itu memohon hal itu di sisi kuburan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam.

Bahkan, ulama’ salaf mengingkari orang yang bermaksud berdo’a kepada Allah di sisi kuburan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam, lebih-lebih berdo’a memohon kepada diri beliau shalallahu ‘alaihi wasallam?

Syubhat lain yang dimiliki orang-orang musyrik adalah kisah Nabi Ibrahim ‘alaihi wasallam tatkala dilempar ke dalam api, Malaikat Jibril ‘alaihi wasallam menghalanginya di udara. Lalu, Jibril bertanya kepada Ibrahim ‘alaihi wasallam: “Apakah kamu butuh sesuatu? Maka Ibrahim ‘alaihi wasallam menjawab: “kepadamu saya sama sekali tidak butuh”. Lantas mereka mengatakan: Kalau istighatsah itu syirik tentu Jibril tidak akan menawarkan pertolongannya kepada Nabi Ibrahim ‘alaihi wasallam.

Sebagai jawabannya ialah: “Sesungguhnya hal ini termasuk jenis syubhat yang pertama. Sebab, sesungguhnya malaikat Jibril telah menawarkan kepada Ibrahim ‘alaihi wasallam untuk memberi pertolongan kepadanya dalam hal yang Jibril mampu melaksanakan hal itu. Karena sesungguhnya malaikat Jibril, seperti yang difirmankan Allah tentang diri Jibril:

Artinya: “Yang sangat kuat.” maka, jika diizinkan untuk mengambil api dan apa yang ada di sekitar api itu lalu ia lemparkan ke ufuk timur atau barat niscaya akan ia kerjakan. Jika Allah memerintahkannya untuk meletakkan Nabi Ibrahim ‘alaihi wasallam di tempat yang jauh dari mereka, niscaya ia dapat melakukannya. Dan jika Allah memerintahkannya untuk mengangkat Ibrahim ‘alaihi wasallam ke langit, niscaya ia dapat melakukannya.

Hal ini tak beda seperti seorang lelaki kaya-raya sedang melihat orang yang membutuhkan. Lantas ia menawarkan kepadanya untuk menghutanginya dan memberinya sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhannya. Tetapi, orang yang membutuhkannya itu tidak mau meminjam dan bahkan ia terus bersabar sampai Allah mendatangkan kepadanya rezeki yang ia tidak merasa tertumpangi jasa orang lain.

Betapa jauhnya perbedaan antara hal ini dengan istighatsah al-ibadah dan syirik, jika mereka benar-benar orang-orang yang mengerti([1]).

Baiklah, kami segera tutup pembicaraan ini dengan suatu masalah yang besar dan penting, yang dapat difahami dari hal-hal yang terdahulu. Akan tetapi kami khususkan pembicarannya mengingat betapa besarnya masalah ini dan betapa banyaknya salah pengertian dalam masalah ini. Maka kami katakan:

Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama’ bahwasanya tauhid itu wajib diwujudkan dengan hati, lisan dan amal perbuatan. Maka, jika hilang satu saja dari ketiga hal itu (hati, lisan dan amal) maka seorang belum dakatakan muslim. Lalu, jika seorang mengetahui tauhid, tetapi tidak melaksanakan tauhid itu, maka ia dihukum kafir Mu’aanid (orang kafir yang membangkang), seperti kekafiran fir’aun, Iblis dan yang serupa dengan keduanya.

Banyak dari manusia yang salah pengertian dalam masalah ini, mereka mengatakan: “Sesungguhnya hal ini haq (benar) dan kami memahaminya serta bersaksi, bahwasanya hal itu benar. Akan tetapi, kami tidak Mampu untuk melaksanakannya. Dan tidak dibolehkan penduduk negeri kami, kecuali orang yang sefaham dengan mereka”. Atau berbagai alasan yang lain.

Si bodoh yang miskin pengertian ini tidak tahu, bahwa sebagian besar pemuka-pemuka kafir mereka mengetahui kebenaran itu dan mereka tidak meninggalkannya, dengan berbagai alasan, sebagaimana firman Allah subahanahu wa ta’ala:

ٱشۡتَرَوۡاْ بِـَٔايَـٰتِ ٱللَّهِ ثَمَنً۬ا قَلِيلاً۬ فَصَدُّواْ عَن سَبِيلِهِۦۤ‌ۚ إِنہُمۡ سَآءَ مَا ڪانُواْ يَعمَلُونَ

“Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.” (QS. At Taubah: 9).

Dan ayat-ayat yang lain. Seperti firman Allah:

يَعرِفُونَهُ ۥ كَمَا يَعرِفُونَ أَبنَآءَهُمُ‌ۘ

“Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) itu mengenalnya (Nabi Muhammad) seperti mengenal anaknya sendiri.” (Q.S. Al Baqarah:146 dan Al An’aam:20).

Jika seorang melaksanakan tauhid dengan perbuatan yang tampak mata, sedangkan dia tidak memahami tauhid itu dan tidak meyakininya dengan hatinya, maka dia adalah munafiq. Dan orang munafiq lebih jelek dari orang kafir.

إِنَّ ٱلۡمُنَـٰفِقِينَ فِى ٱلدَّرۡكِ ٱلأَسفَلِ مِنَ ٱلنَّارِ

“Sesungguhnya orang munafiq itu (ditempatkan) pada tingkat yang paling bawah dari neraka.” (Q.S. An Nissa’:145).

Ini masalah yang panjang, akan jelas bagi anda, jika anda telah merenungkannya melalui apa yang keluar dari lisan-lisan manusia, anda akan lihat orang yang mengetahui al haq (kebenaran) tetapi tidak mau melaksanakan kebenaran itu karena rasa takut kekurangan dunia atau karena pangkat di bidang agama atau dunia ataupun karena basa-basi menyesuaikan diri dengan orang. Dan anda juga akan melihat orang yang mengamalkan secara zhahir, sedang batinnya menolak. Akan tetapi wajib bagi anda untuk memahami dua ayat dari kitab Allah ini.

Ayat yang pertama adalah firman Allah ta’ala:

لَا تَعتَذِرُواْ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعدَ إِيمَـٰنِكُمۡ

“Tidak usah minta ma’af (beralasan), karena kamu kafir sesudah beriman.” (Q.S. At Tubah: 66).

Jika telah jelas bagi anda, bahwasanya sebagian para sahabat yang telah memerangi bangsa Romawi bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam itu kafir hanya karena mereka mengucapkan suatu kalimat (perkataan) atas dasar main-main dan canda, maka teranglah bagi anda, bahwasanya orang yang mengucapkan dirinya kafir karena rasa takut kekurangan harta atau karena demi pangkat ataupun karena berbasa-basi menyesuaikan diri dengan orang, adalah lebih besar kesesatannya dari orang yang mengucapkan suatu kalimat kekafiran dengan maksud bercanda.

Ayat yang kedua adalah firman Allah Ta’ala:

مَن كفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ بَعدِ إِيمَـٰنِهِۦۤ إِلَّا مَنۡ أُكرِهَ وَقَلبُهُ ۥ مُطمٮٕنُّۢ بِٱلإِيمَـٰنِ وَلَـٰكِن مَّن شَرَحَ بِٱلكُفرِ صَدۡرً۬ا فَعَلَيهِمۡ غَضَبٌ۬ مِّنَ ٱللَّهِ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٌ۬

ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمُ ٱسۡتَحَبُّواْ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنيَا عَلَى ٱلأخِرَةِ

“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (dia mendapat kemurkaan dari Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. Yang demikian itu disebabkan karena sesunguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat.” (QS. An Nahl:106-107).

Maka, Allah tidak menerima uzur mereka kecuali orang yang dipaksa kafir disertai keberadaan hati yang tetap tenang dalam keimanan. Adapun selain itu, maka ia benar-benar telah kafir sesudah beriman, baik ia mengerjakan itu karena rasa takut atau sekedar berpura-pura untuk menyesuaikan diri dengan orang, atau karena rasa bakhil dengan negerinya atau keluarganya atau kerabat-kerabatnya ataupun harta bendanya. Ataupun ia melakukan tindakan kekafiran itu atas dasar canda atau karena atas tujuan-tujuan lain, kecuali orang yang dipaksa kafir.

Oleh karenanya, ayat diatas menunjukkan hal itu dari dua segi; Yang pertama: firman Allah ta’ala:

إِلَّا مَنۡ أُكرِهَ

“kecuali orang yang dipaksa kafir” Disini Allah hanya mengecualikan orang yang dipaksa kafir, dan sudah maklum, bahwasanya orang tidak dipaksa kecuali supaya mengucap atau berbuat, sedangkan keyakinan (I’tikad) hati, tidak ada seorang pun yang dipaksa untuk meyakininya.

Yang kedua: firman Allah ta’ala:

ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمُ ٱسۡتَحَبُّواْ ٱلحَيَوٰةَ ٱلدُّنيَا عَلَى ٱلأۡخِرَةِ

“Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat.”(QS.An Nahl: 107).

Maka, Allah telah menerangkan ayat itu dengan jelas, bahwasanya kekafiran dan siksa tidaklah disebabkan I’tikad, kebodohan dan kebencian kepada agama, serta cinta kepada kekafiran melainkan sebabnya adalah karena mereka mendapat keuntungan-keuntungan dunia, lalu hal itu ia utamakan melebihi agama, dan hanya Allah subanahu wa ta’ala Yang Lebih Tahu, Yang Lebih Perkasa dan Yang Lebih Mulia. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpah kepada Nabi kita; Muhammad dan kepada para sahabat beliau.

-Selesai- Alhamdulillah.

Diterjemahkan dari kitab Kasyfu Syubhat karya Asy Muhammad bin Abdul Wahhab-rahimahullah-

Kasyfu Syubhat adalah kitab yang mengungkap kebathilan penentang Tauhid Baca Disini

—————————————————————————–
([1] ) Orang yang telah mati tidak akan mendengar do’a orang yang berdo’a kepada mereka dan tidak pula mendengar Istighatsah orang yang beristighatsah kepada mereka. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:

إِن تَدۡعُوهُمۡ لَا يَسۡمَعُواْ دُعَآءَكُمۡ

“Jika kamu berdo’a (menyeru) mereka, mereka tiada mendengar do’a (seruanmu).” (QS Al-Fatir: 14).

Maka para penyembah orang mati senantiasa dalam kesesatan, selagi mereka tetap berdo’a kepada orang-orang mati itu, karena ibadah mereka berlawanan dengann nash Al-Qur’an.

Sumber:

http://haulasyiah.wordpress.com/





KASYFU SYUBHAT 5

30 12 2008

Kasyfu Syubhat adalah kitab yg mengungkap kebathilan penentang Tauhid Bag.5

Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab-rahimahullah- Berkata:”Oleh karenanya renungkan syubhat berikut ini, ‎yaitu ucapan mereka: “mengapa kalian mengkafirkan ‎orang-orang Islam yang mereka bersaksi, bahwa tidak ‎ada tuhan selain Allah, mereka mengerjakan shalat ‎dan puasa? Kemudian renungkan jawaban syubhat ‎itu, karena jawaban ini adalah termasuk paling ‎bermanfaat diantara isi lebar-lembaran ini.‎

‎ Dan termasuk dalil atas hal itu juga adalah apa ‎yang sudah Allah ceritakan tentang bani Israil dengan ‎keislaman, keilmuan dan keshalehan mereka, masih ‎saja mereka mengatakan kepada nabi musa ‘alaihi sallam:‎

‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ٱجۡعَل لَّنَآ إِلَـٰهً۬ا كَمَا لَهُمۡ ءَالِهَةٌ۬‌ۚ ‏

‎ “Buatlah untuk kami suatu tuhan (berhala) ‎sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan ‎‎(berhala).” (QS.Al A’raaf:138).‎

‎ Dan ucapan beberapa sahabat:‎

‏( اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ )‏

‎“Buatlah untuk kami dzaatu anwaath (nama sebuah ‎Pohon).”‎

Mendengar ucapan itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam lalu ‎bersumpah, bahwasanya ucapan itu serupa dengan ‎ucapan bani Israil “buatlah untuk kami sebuah tuhan ‎‎(berhala).”‎

Tetapi, orang-orang musyrik mempunyai syubhat, ‎yang mereka pakai sebagai hujjah dalam kisah bani ‎Israil itu. Syubhat itu adalah mereka mengatakan, ‎bahwa bani israil itu tidak kafir, begitu pula beberapa ‎sahabat yang telah mengatakan: “Buatlah untuk kami ‎pohon Dzaatu Anwaath,” mereka pun tidak kafir.‎

Sebagai jawabannya, hendaklah anda katakan: ‎‎“sesungguhnya bani Israil tidak melakukan itu, ‎demikian pula orang-orang yang telah memohon ‎kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tidak juga melakukan itu. Tetapi jika ‎melakukan itu yakni membuat tuhan berhala, jelas ‎mereka akan kafir. Seperti juga tidak ada perbedaan ‎pendapat antara ulama’ bahwa orang-orang yang ‎dilarang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam itu andaikan tidak mentaati ‎beliau shalallahu ‘alaihi wasallam dan mengambil Dzaatu anwaath itu sesudah ‎mereka dilarang, niscaya mereka pun menjadi kafir. ‎Dengan demikian terjawablah. ‎

Akan tetapi, kisah ini memberi pelajaran, ‎bahwasanya seorang muslim, bahkan seorang ‘alim, ‎terkadang dapat terperosok ke dalam macam syirik ‎tanpa sepengetahuannya. Dengan demikian kisah ini ‎pun memberi pelajaran kepada kita agar belajar dan ‎berhati-hati serta mengerti bahwa ucapan seorang ‎bodoh, “kami sudah faham tauhid itu, “adalah ‎kebodohan yang terbesar dan termasuk makar (tipu ‎daya) syetan yang terbesar, kisah ini juga memberi ‎pelajaran, bahwa seorang muslim jika mengucapkan ‎perkataan kufur dan dia tidak tahu, lalu diingatkan ‎atas perbuatannya itu, kemudian seketika itu juga ‎bertaubat dari ucapan itu, maka ia tidak kafir, ‎sebagaimana yang sudah dilakukan kaum bani Israil ‎dan sahabat yang meminta kepada nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dalam kisah ‎diatas, dan kisah itu juga memberi pelajaran, ‎bahwasanya jika dia tidak kafir maka dia harus ditegur ‎dengan perkataan yang keras kepadanya, seperti yang ‎dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihim wasallam, kepada orang-orang lain ‎dari sahabat itu.‎

Orang-orang musyrik mempunyai syubhat lain, ‎mereka mengatakan bahwa nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah menyalahkan ‎pembunuhan Usamah radhiyallahu ‘anhuma terhadap ‎orang yang sudah mengatakan: ‎لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله‎ ‎

dan beliau bersabda kepadanya:‎

‎ ‎‏(( أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ))‏‎ ‎

Mengapa engkau bunuh setelah ia mengucapkan: ‎Laailaaha illallah?‎

Begitu juga sabda beliau shalallahu ‘alaihi wasallam:‎

‏(( أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوْا لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ))‏‎ ‎

Aku diperintahkan untuk memerangi manusia ‎sehingga mereka mengucapkan: ‎لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله‎ ‎

Dan hadits-hadits lain tentang menahan diri dari ‎orang yang telah mengucapkan kalimat tauhid.‎

Yang diinginkan orang-orang bodoh itu adalah, ‎bahwasanya barang siapa yang sudah mengucapkan ‎kalimat itu, maka tidak dikafirkan dan tidak dibunuh, ‎meski ia telah berbuat apa saja, maka, harus ‎dikatakan kepada orang-orang bodoh itu, “sudah ‎maklum, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah memerangi ‎orang-orang Yahudi dan menawan mereka padahal ‎mereka mengatakan: ‎لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله‎ ‎

Seperti juga sudah maklum, bahwa sahabat-‎sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah memerangi Bani Hanifah, ‎padahal mereka bersaksi, bahwasanya tidak ada Ilah ‎‎(sesembahan) selain Allah dan sesungguhnya Nabi ‎Muhammad itu adalah utusan Allah, mereka juga ‎mengerjakan shalat dan mengaku dirinya Islam. ‎Demikian pula halnya orang-orang yang dibakar oleh ‎‎‘Ali bin Abi Thalib dengan api, dan orang-orang bodoh ‎itu mengakui, bahwa barang siapa yang mengingkari ‎hari pembalasan, maka ia dihukum kafir dan boleh ‎dibunuh, meskipun telah mengucapkan: ‎لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله‎ dan ‎barang siapa mengingkari sesuatu dari rukun-rukun ‎Islam, ia juga kafir dan boleh dibunuh meskipun telah ‎mengucapkan kalimat tauhid itu. Lalu, kalau orang ‎yang mengingkari satu cabang agama, pengakuan ‎Islamnya batal dan tak berguna, adakah berguna ‎pengakuan keislaman orang yang mengingkari tauhid ‎yang merupakan asas dan dasar agama para Rasul? ‎Namun, memang musuh-musuh Allah tidak faham ‎makna hadits-hadits itu.‎

Adapun hadits Usamah adalah bahwasanya ia telah ‎membunuh seorang lelaki yang sudah mengaku ‎dirinya Islam disebabkan karena Usamah menyangka, ‎bahwa lelaki itu tidak mengaku Islam kecuali karena ‎rasa takut atas darah dan hartanya. Jadi, jika seorang ‎telah memperlihatkan keislamannya, maka wajib bagi ‎muslim menahan diri, dan tidak tergesa-gesa ‎membunuhnya sehingga diketahui dengan teliti pada ‎dirinya apa-apa yang bertentangan dengan ‎keislamannya itu. Tentang hal itu, Allah subahanahu wa ta’ala Telah ‎menurunkan firman-Nya:‎

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا ضَرَبۡتُمۡ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ فَتَبَيَّنُواْ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏

‎“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi ‎‎(berperang) di jalan Allah, maka betabayunlah ‎‎(telitilah).” ( QS. An Nisaa’: 94).‎

Tabayyun yakni tatsabbut, berhati-hati dalam ‎bertindak, tidak ceroboh, ayat tersebut menunjukkan ‎kewajiban menahan diri dan bertasabbut. Lantas, jika ‎sudah terang (setelah diteliti) ada sesuatu yang ‎berlawanan dengan Islam, maka boleh dibunuh, ‎berdasarkan firman Allah ‎‏ ‏ ‎-maka telitilah- kalau ‎seandainya tidak boleh dibunuh jika ia mengucapkan ‎kalimat tauhid, padahal telah terbukti, setelah diteliti ‎bahwa ia menentang Islam, maka perintah “tatsabbut” ‎tidak akan mempunyai arti. Demikian pula hadits lain ‎yang sejenisnya, maknanya adalah seperti yang sudah ‎kami sebutkan, dan bahwasanya barang siapa yang ‎telah menampakkan ketauhidan dan keislaman, maka ‎wajib orang muslim menahan diri darinya, kecuali jika ‎sudah terang darinya sesudah diteliti, hal-hal yang ‎membatalkan ketauhidan dan keislamannya itu. ‎Sebagai dalil atas hal itu adalah bahwasanya ‎Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:‎

‏(( أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ))‏

‎“Mengapa kamu bunuh dia sesudah mengatakan laa ‎ilaaha illallah”. ‎

Dan beliaushallahu ‘alaihi wasallam juga yang bersabda: ‎

‏(( أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوْا لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ))‏‎ ‎

‎“Aku diperintahkan memerangi manusia sehingga ‎mereka mengatakan laa ilaaha illallah.”‎

Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam pula yang bersabda tentang kaum ‎khawarij:‎

‏((أَيْنَمَا لَقِيْتُمُوْهُمْ فَاقْتُلُوْهُمْ لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لَأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ))‏

‎“Dimana saja kamu sekalian bertemu mereka, maka ‎bunuhlah. Sungguh, jika aku mendapatkan mereka ‎‎(khawarij) niscaya pasti akan aku bunuh mereka ‎‎(seperti) terbunuhnya kaum ‘Aad.”‎

Padahal orang-orang khawarij itu termasuk orang-‎orang yang banyak beribadah, bertahlil dan bertasbih. ‎Sampai-sampai para sahabat merasa rendah diri di ‎hadapan orang-orang khawarij itu. Mereka telah ‎belajar ilmu dari para sahabat, akan tetapi meski ‎begitu, ucapan mereka: ‎لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله‎ sama sekali tidak ‎berguna bagi mereka.‎

Begitu juga ibadah mereka yang banyak dan ‎pengakuan Islam mereka juga tidak berguna tatkala ‎telah tampak dari mereka perlawanan terhadap ‎syari’ah.‎

Demikian halnya apa yang sudah kami sebutkan ‎tentang peperangan terhadap orang-orang Yahudi dan ‎peperangan para sahabat terhadap bani Hanifah. ‎Begitu juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ingin memerangi bani ‎Mushthaliq tatkala seorang lelaki dari mereka ‎memberitahu beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya bani Mushthaliq ‎enggan membayar zakat, sehingga Allah subahanahu wa ta’ala ‎menurunkan ayat:‎

‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٍ۬ فَتَبَيَّنُوٓاْ‏

‎“Hai orang-orang yang beriman, jika datang ‎kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka ‎periksalah dengan teliti.” (QS. Al Hujuraat: 6).‎

Dan benar, bahwa lelaki itu telah berbohong dalam ‎memberitakan tentang mereka. Semua ini ‎menunjukkan bahwa maksud nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits-‎hadits yang mereka pakai sebagai hujjah itu adalah ‎seperti apa yang kami sudah sebutkan diatas.

sumber: muwahiid

http://haulasyiah.wordpress.com/





KASYFU SYUBHAT 4

30 12 2008

Kasyfu Syubhat adalah kitab yg Mengungkap Kebathilan Argumen Penentang Tauhid(4)

Syaikh Muhammad bin Abdul wahhab – Rahimahullah- berkata dalam kitab Kasyfu Subhat : Syubhat itu adalah, bahwasanya mereka ‎mengatakan: “sesungguhnya orang-orang yang Al-‎Qur’an telah turun tentang keadaan mereka, tidak ‎pernah bersaksi, bahwa tidak ada tuhan selain Allah ‎dan mereka mendustakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, mengingkari ‎hari kebangkitan, mendustakan Al-Qur’an dan ‎menganggapnya sebagai sihir, sedangkan kami ‎bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang haq disembah ‎selain Allah dan bahwasanya Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam adalah ‎utusan Allah. Kami membenarkan Al Qur’an, beriman ‎dengan adanya hari kebangkitan, melaksanakan shalat ‎dan kami pun melaksanakan puasa, bagaimana kalian ‎menyamakan kami seperti orang-orang musyrik dulu?‎

Sebagai jawaban atas syubhat ini adalah, ‎bahwasanya tidak ada perbedaaan pendapat antara ‎para ulama’, bahwa seseorang jika membenarkan ‎Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam satu hal, dan mendustakan beliau ‎shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hal yang lain, hukumnya adalah kafir, tidak ‎masuk dalam Agama Islam, begitu pula, jika seseorang ‎beriman dengan sebagian isi Al-Qur’an, tetapi ‎mengingkari sebagian yang lain seperti misalnya: ‎seorang mengakui tauhid, tetapi mengingkari ‎kewajiban shalat, atau mengakui tauhid dan mengakui ‎shalat, tetapi mengingkari zakat, ataupun dia ‎mengakui semua itu (tauhid, shalat dan zakat) tetapi ‎mengingkari puasa, atau dia mengakui semua itu, ‎tetapi ia mengingkari haji, maka orang yang semacam ‎itu hukumnya kafir. Dan ketika beberapa orang tidak ‎menunaikan ibadah haji pada zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam maka ‎Allah langsung menurunkan wahyu tentang orang-‎orang itu:‎

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنْ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْ الْعَلَمِي ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia ‎terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup ‎mengadakan perjalanan ke baitullah, barang siapa ‎mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya ‎Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari ‎semesta alam.” (QS. Ali Imran: 97).‎

Dan barang siapa yang mengakui semua yang ‎tersebut di atas itu, tetapi mengingkari hari ‎kebangkitan, maka hukumnya kafir menurut ijma’ ‎‎(kesepakatan para ulama’) dan darah serta harta ‎bendanya menjadi halal. Sebagaimna firman Allah subahanahu wa ta’ala:

‏ إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا ‏

أُوْلَئِكَ هُمْ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah ‎dan rasul-Nya dan bermaksud membeda-bedakan ‎antara Allah dan Rasul-rasul-Nya (beriman kepada ‎Allah, tidak beriman kepada rasul-rasul-Nya), dengan ‎mengatakan: “kami beriman kepada sebahagian (dari ‎rasu-rasul itu), dan kafir terhadap sebahagian (yang ‎lain), “serta bermaksud (dengan perkataan itu) ‎mangambil jalan antara yang demikian (iman atau ‎kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenarnya. ‎Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir itu ‎siksaan yang menghinakan. (QS. An Nisa’:150-151).‎

Maka, Jika Allah sudah menjelaskan dengan ‎sejelas-jelasnya dalam kitab-Nya, bahwasanya barang ‎siapa beriman kepada sebahagian dari rasul-rasul-Nya ‎dan kafir terhadap sebahagian yang lain, hukumnya ‎adalah kafir yang sebenar-benarnya; dengan demikian ‎hilanglah syubhat tersebut. Dan hal ini yang ‎dituturkan oleh sebagian penduduk Ahsaa’ (nama ‎suatu daerah di wilayah timur saudi arabia, pent) ‎dalam surat yang telah dikirimkan kepada kami[1]

Dikatakan: “apabila kamu sudah mengakui ‎bahwasanya barang siapa yang sudah membenarkan ‎Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam segala urusan, tetapi mengingkari ‎kewajiban shalat maka dia dihukumi kafir, halal ‎darahnya menurut ijma’ (kesepakatan ulama’). ‎Demikian juga, jika dia mengakui semua hal itu ‎kecuali hari kebangkitan, ia mengingkarinya, maka ia ‎dihukum kafir, halal darah dan hartanya. Begitu pula, ‎jika dia mengingkari puasa ramadhan tetapi tidak ‎mengingkari hari kebangkitan maka hukumnya pun ‎kafir. Semua madzhab tidak berselisih dalam hal ini, ‎dan Al-Qur’an pun telah menjelaskan tentang hal itu ‎seperti yang telah kami kemukakan di atas. Maka dari ‎sini, jelaslah bahwasanya “tauhid” itu termasuk fardhu ‎‎(kewajiban) yang terbesar yang dibawa oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. ‎

Tauhid lebih besar dari ibadah shalat, zakat, puasa ‎dan haji, jika seseorang mengingkari Satu hal dari hal-‎hal itu dihukumi kafir, meskipun dia sudah ‎mengamalkan semua syari’at Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, tepatkah ‎orang yang mengingkari tauhid -yang mana tauhid itu ‎merupakan agama seluruh rasul-rasul- tidak dihukumi ‎kafir? Subhanallah (Maha Suci Allah) Alangkah ‎anehnya kebodohan yang semacam ini (‎ ‎).‎

Dikatakan pula: “mereka para sahabat Rasulullah ‎shalallahu ‘alaihi wasallam telah memerangi bani Hanifah padahal mereka ‎benar-benar sudah masuk Islam bersama Nabi shalallahu ‘alalaihi wasallam ‎mereka bersaksi, bahwa tidak ada tuhan selain Allah ‎dan bahwasanya Nabi muhammad adalah utusan ‎Allah. Dan mereka juga mengerjakan shalat dan azdan. ‎

Maka jika dia mengatakan: “sesungguhnya mereka ‎berkata bahwasanya Musailamah (Al-Kadzadzab) ‎adalah seorang nabi, kami katakan: inilah jawaban ‎yang dicari, yakni jika ada orang yang mengangkat ‎seorang lelaki sederajat dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dihukum kafir, ‎halal harta dan darahnya, dan dua ucapan syahadat ‎dan shalat tidak bermanfaat baginya, bagaimana ‎dengan orang yang mengangkat Syamsan atau Yusuf ‎atau seorang sahabat ataupun seorang Nabi ke derajat ‎yang Maha Menguasai langit dan bumi? Maha suci ‎Allah, betapa agung urusan-Nya.‎

كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏

‎“Demikianlah Allah mengunci mati hati orang-orang ‎yang tidak (mau) memahami”. (QS. Ar Ruum: 59).‎

Dikatakan pula: “orang-orang yang dibakar oleh ‘Ali ‎Bin Abi Thalib dengan api, mereka semua mengaku ‎dirinya Islam, dan mereka sahabat-sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu serta ‎belajar ilmu dari para sahabat, akan tetapi mereka ‎beri’tiqad terhadap Ali, seperti I’tiqad orang terhadap ‎Yusuf dan Syamsan dan orang yang semisal keduanya, ‎maka, bagaimana bisa para sahabat itu sepakat untuk ‎membunuh dan mengkafirkan mereka?‎

Apakah kalian menyangka, bahwasanya para ‎sahabat itu mengkafirkan orang-orang muslim? Atau ‎kalian menyangka bahwa beri’tiqad terhadap suatu ‎taaj (mahkota) dan sejenisnya tidak mengganggu iman ‎sedang beri’tiqad terhadap Ali bin Ali Thalib menjadi ‎kafir?‎

Dikatakan juga: Bani ‘Ubaid Al-Qaddah yang ‎menguasai negeri Maghrib dan Mesir pada zaman bani ‎Al-Abbaas, mereka semua bersaksi, bahwa tiada tuhan ‎selain Allah dan bahwasanya Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam ‎adalah utusan Allah. Mereka pun mengaku menganut ‎Islam dan melaksanakan shalat Jum’at dan shalat ‎berjamaah, akan tetapi tatkala mereka ‎memperlihatkan perlawanan terhadap syariah dalam ‎beberapa hal yang tidak sebesar apa yang mereka ‎tentang pada zaman kita ini, para ulama’ pun sepakat ‎untuk mengkafirkan mereka. Dan difatwakan bahwa ‎negeri mereka adalah negeri “Dar Harb” yang harus di ‎pererangi. Lalu, kaum muslimin memerangi mereka ‎sampai kaum muslimin dapat membebaskan negeri ‎orang-orang Islam yang berada dalam cengkraman ‎mereka.‎

Dikatakan juga: “jika orang-orang dulu tidak kafir ‎melainkan lantaran mereka hanya memadukan antara ‎syirik dan mendustakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan Al-Qur’an ‎serta mengingkari hari kebangkitan dan yang lainnya. ‎Maka apalah artinya bab yang di sebut oleh Para ‎ulama’ seluruh madzhab: “bab hukum orang murtad”. ‎Yaitu yang tak lain adalah orang muslim yang menjadi ‎kafir sesudah dirinya Islam. Kemudian para ulama’ ‎menyebutkan beberapa macam murtad. Setiap macam ‎dari macam-macam murtad itu dihukumi kafir dan ‎dijadikan darah dan harta bendanya itu halal. Sampai-‎sampai para ulama’ itu menyebutkan hal-hal yang ‎gampang terjadi dan dilakukan orang. Seperti; ‎seseorang yang menyebut sesuatu kalimat dengan ‎lisannya, tanpa ada keyakinan dalam hatinya ataupun ‎menyebut suatu kalimat dengan bercanda dan main-‎main.‎

‎ Dan dikatakan pula: orang-orang yang Allah ‎katakan tentang mereka:‎

‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏

‎“Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah ‎dengan nama Allah, bahwa mereka tidak mengatakan ‎‎(sesuatu yang menyakitimu), Sesungguhnya mereka ‎telah mengucapkan perkataan kekafiran dan telah ‎menjadi kafir sesudah islam”. ( QS. At Taubah: 74).‎

Apakah kamu tidak mendengar, bahwasanya Allah ‎telah mengkafirkan mereka hanya karena mereka ‎mengucapkan satu kalimat? padahal semasa ‎Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mereka berjihad bersama beliau shalallahu ‘alaihi wasallam. ‎Mengerjakan shalat bersama beliau, berzakat, ‎menunaikan ibadah haji dan mentauhidkan Allah.‎

‎ Demikian pula, orang-orang yang Allah katakan ‎tentang mereka:‎

‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏

‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ قُلْ أبِاللَّهِ وَءايَتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءونَ ‏ ‏ ‏ ‏

لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَنِكُمْ ‏‎ ‎‏ ‏

‎“Katakanlah: “Apakah kepada Allah, ayat-ayat-Nya ‎dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” tidak usah ‎kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman”. ‎‎(QS. At-Taubah: 65-66).‎

Allah subahanahu wa ta’ala telah menerangkan dan menjelaskan ‎dengan sejelas-jelasnya, bahwasanya mereka itu kafir ‎sesudah beriman, padahal mereka ikut bersama ‎rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam perang Tabuk, mereka telah ‎mengucapkan satu kalimat kekafiran, meski mereka ‎katakan bahwa mereka mengucapkan kalimat itu atas ‎dasar gurau belaka.
——————————————————————————————-

[1] Dahulu daerah Ahsa’ pada zaman syaikh, terdapat banyak Ulama-ulama’ dari berbagai madzhab, sebagian dari ulama itu keras kepala menentang dan sebagian yang lain diberi hidayah oleh Allah, lalu mengikuti kebenaran dan petunjuk karena taufiq Allah.

sumber: Muwahiid

http://haulasyiah.wordpress.com/





KASYFU SYUBHAT 3

30 12 2008

Kasyfu Syubhat adalah kitab yg Mengungkap Kebathilan Argumen Penentang Tauhid(3)

Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab-Rahimahullah-Berkata dalam kitab Kasfu Syubhat:

Apabila dia mengatakan,” syirik itu menyembah ‎berhala-berhala”. ‎

Maka jawablah: “Apa makna menyembah berhala-‎berhala itu? apakah kamu mengira, bahwasanya ‎orang-orang musyrik itu beri’tikad/ berkeyakinan, ‎bahwa kayu-kayu yang mereka sembah dan pohon-‎pohon itu yang menciptakan, dan yang memberi rezeki ‎dan yang mengatur urusan orang yang berdo’a ‎kepadanya? pendapatmu itu tidak dibenarkan oleh Al- ‎Qur’an, sebagaimana yang tertera dalam firman Allah ‎Ta’ala :‎

‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ قُلۡ مَن يَرۡزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلأَرۡضِ أَمَّن يَمۡلِكُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلأَبصَـٰرَ وَمَن يُخۡرِجُ ٱلحَىَّ مِنَ ٱلمَيِّتِ وَيُخۡرِجُ ٱلمَيِّتَ مِنَ ٱلحَىِّ وَمَن يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَ‌ۚ فَسَيَقُولُونَ ٱللّهَ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏

Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki ‎kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang ‎kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan ‎siapakah yang mengeluarkan yang mati dari yang ‎hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” ‎Maka mereka akan menjawab: “Allah”. (QS. Yunus :31).‎

Jika dia mengatakan: “orang-orang yang ‎menujukan pemujaan kepada kayu atau suatu batu ‎atau bangunan diatas sebuah kuburan atau yang ‎lainnya seraya berdo’a kepada benda-benda itu dan ‎menyembelih kurban demi untuknya: Bahwasanya ‎benda-benda itu dapat mendekatkan kami kepada ‎Allah dengan sedekat-dekatnya dan dapat menolak ‎bala’ dari kami dengan barokahnya.”‎

Maka katakan, “Anda telah jujur menjawab, dan ‎hal itulah yang kamu kerjakan di sisi batu-batu, ‎bangunan-bangunan yang ada di atas kuburan dan ‎yang lainnya”. Sipenentang itu mengakui bahwa ‎perbuatan orang-orang semacam itu, sama saja ‎dengan menyembah berhala. ‎

Perlu juga dikatakan kepadanya lagi: ucapanmu ‎‎“syirik itu menyembah kepada berhala, “Apakah yang ‎kamu maksud, bahwa syirik itu khusus kepada ‎penyembahan berhala saja, sedangkan bergantung ‎kepada orang-orang shalih serta berdo’a kepada ‎mereka tidak termasuk syirik? Padahal hal ini ‎dibantah oleh ayat yang disebutkan Allah dalam ‎kitabnya tentang kekufuran orang yang selalu ‎bergantung kepada para malaikat, Nabi ‘Isa dan orang-‎orang shalih. Maka wajib kamu akui, bahwasanya ‎orang yang mempersekutukan seseorang dari orang-‎orang shalih dalam beribadah kepada Allah, bentuk ‎syirik yang semacam itu adalah bentuk syirik yang ‎tercantum dalam Al-Qur’an. dan memang inilah ‎kesimpulan pembahasan yang dicari.‎

Rahasia masalah ini adalah jika dia mengatakan: ‎‎“saya tidak syirik (mempersekutukan) Allah”.‎

Maka tanyakan kepadanya: “apakah sebenarnya ‎arti syirik kepada Allah itu, coba jelaskan arti syirik itu ‎kepadaku? ‎

Jika dia mengatakan, “syirik itu adalah menyembah ‎berhala-berhala. ‎

Maka katakan: “lalu apa makna menyembah ‎berhala itu, coba jelaskan kepadaku? Jika dia mengatakan: “saya hanya menyembah ‎Allah semata”. ‎

Maka katakan: “apakah makna menyembah Allah ‎semata itu? Coba jelaskan kepadaku!‎

Jika dia menjelaskan kalimat itu dengan apa yang ‎sudah dijelaskan Al-Qur’an, maka jawaban itulah yang ‎diharapkan .

‎ Akan tetapi dia tidak mengetahui hal itu. Dan jika ‎dia menafsirkan hal itu tidak sesuai dengan makna ‎sebenarnya, maka hendaknya anda jelaskan ‎kepadanya ayat-ayat yang menjelaskan tentang syirik ‎kepada Allah dan makna menyembah berhala-berhala. ‎Atau jelaskan kepadanya bahwa hal itulah yang ‎dilakukan oleh sebagian orang pada zaman ini. Dan ‎jelaskan pula, bahwa menyembah Allah semata, tiada ‎sekutu bagi-Nya, itulah yang membuat mereka ‎menentang kami dan berteriak sebagaimana kawan-‎kawan mereka (para jahiliyyah) telah berteriak, sambil ‎mengatakan: ‎

‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ أَجَعَلَ ٱلۡأَلِهَةَ إِلَـٰهً۬ا وَٲحِدًا‌ۖ إِنَّ هَـٰذَا لَشَىۡءٌ عُجَابٌ۬ ‏ ‏ ‏ ‏

‎ “Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu hanya ‎yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu ‎hal yang sangat mengherankan”. (QS. Shaad: 5).‎

Apabila anda sudah tahu bahwa hal yang ‎dinamakan oleh orang-orang musyrik pada zaman ini ‎dengan “Al I’tiqaad,”adalah merupakan “syirik” yang ‎dimaksud dalam Al-Qur’an dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ‎memerangi manusia lantaran syirik itu, maka ‎ketahuilah, bahwasanya bentuk syirik orang-orang ‎dahulu itu lebih ringan dari bentuk syirik orang-orang ‎zaman ini, hal ini karena dua hal :‎

Yang pertama:‎

Bahwasanya orang-orang dahulu tidak melakukan ‎kesyirikan, tidak menyembah dan berdo’a kepada ‎malaikat, para wali dan berhala-berhala disamping ‎menyembah dan berdoa kepada Allah kecuali dalam ‎keadaan senang.‎

Sedangkan di waktu susah mereka mentuluskan ‎ibadah dan do’a mereka kepada Allah. Seperti firman ‎Allah:‎

‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ وَإِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فِى ٱلۡبَحۡرِ ضَلَّ مَن تَدۡعُونَ إِلَّآ إِيَّاهُ‌ۖ فَلَمَّا نَجَّٮٰكُمۡ إِلَى ٱلۡبَرِّ أَعۡرَضۡتُمۡ‌ۚ وَكَانَ ٱلۡإِنسَـٰنُ كَفُورًا ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏

‎“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, ‎niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. ‎Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, ‎kamu berpaling. Dan adalah manusia itu selalu tidak ‎berterima kasih”. (QS. Al Israa’ :67).‎

Dan firman Allah:‎

‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ قُلۡ أَرَءَيۡتَكُمۡ إِنۡ أَتَٮٰكُمۡ عَذَابُ ٱللَّهِ أَوۡ أَتَتۡكُمُ ٱلسَّاعَةُ أَغَيۡرَ ٱللَّهِ تَدۡعُونَ إِن كُنتُمۡ صَـٰدِقِينَ ‏ ‏ ‏ ‏

بَلۡ إِيَّاهُ تَدۡعُونَ فَيَكۡشِفُ مَا تَدۡعُونَ إِلَيۡهِ إِن شَآءَ وَتَنسَوۡنَ مَا تُشۡرِكُونَ

Katakanlah: “Bagimana pendapat kalian jika datang ‎siksaan Allah kepadamu, atau datang kepadamu hari ‎kiamat, apakah kamu menyeru (tuhan) selain Allah, jika ‎kamu orang-orang yang benar”. (Tidak ) bahkan hanya ‎Dialah yang kalian seru, maka Dia menghilangkan ‎bahaya yang kamu berdo’a kepadanya, jika Dia ‎menghendaki, dan kamu tinggalkan sesembahan-‎sesembahan yang kamu sekutukan (dengan Allah)”. ‎‎(QS. Al An’am:40-41).‎

Dan Allah berfirman:‎

‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ وَإِذَا مَسَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ ضُرٌّ۬ دَعَا رَبَّهُ ۥ مُنِيبًا إِلَيۡهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ ۥ نِعۡمَةً۬ مِّنۡهُ نَسِىَ مَا كَانَ يَدۡعُوٓاْ إِلَيۡهِ مِن قَبۡلُ وَجَعَلَ لِلَّهِ أَندَادً۬ا لِّيُضِلَّ عَن سَبِيلِهِۦ‌ۚ قُلۡ تَمَتَّعۡ بِكُفۡرِكَ قَلِيلاً‌ۖ إِنَّكَ مِنۡ أَصۡحَـٰبِ ٱلنَّارِ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏

Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia ‎memohon pertolongan kepada tuhannya dengan ‎kembali kepada-Nya; kemudian apabila Dia ‎memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan ‎kemudharatan yang pernah dia berdo’a (kepada Allah) ‎untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia ‎mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk ‎menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: ‎‎“bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu ‎sementara waktu, sesungguhnya kamu termasuk ‎penghuni neraka.” (QS. Az Zumar: 8).‎

Dan firman Allah Ta’ala:‎

‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ وَإِذَا غَشِيَہُم مَّوۡجٌ۬ كَٱلظُّلَلِ دَعَوُاْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ ‏ ‏

‎“Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar ‎seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan ‎memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam ‎‎(menjalankan) agama. ( QS. Luqman: 32).‎

‎ Maka, barang siapa yang faham masalah yang ‎sudah dijelaskan oleh Allah dalam kitab-Nya ini, yaitu: ‎bahwasanya orang-orang musyrik yang diperangi ‎Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam itu mereka berdo’a (menyeru kepada) ‎Allah dan berdo’a pula kepada selain Allah dalam ‎keadaan senang, sedangkan di waktu ditimpa bahaya ‎dan susah, mereka hanya berdo’a kepada Allah ‎semata, tiada sekutu baginya, dan mereka tinggalkan ‎para penghuni kubur yang selalu mereka seru “ya ‎sayyidi, ya sayyidi, dengan demikian semakin teranglah ‎baginya perbedaan antara bentuk syirik orang-orang ‎zaman kita dan bentuk syirik orang-orang dahulu.‎

Namun mana orang yang hatinya faham masalah ‎ini dengan pemahaman yang dalam? Hanya Allahlah ‎tempat memohon pertolongan (untuk menuju ‎ibadah yang sebenarnya kepada-Nya).‎

Yang kedua:‎

Bahwasanya orang-orang dahulu itu, disamping ‎menyembah Allah, mereka berdo’a kepada orang yang ‎sangat dekat disisi Allah, baik itu para nabi atau para ‎wali ataupun malaikat. Dan juga mereka menyembah ‎‎(berdo’a) kepada pepohonan dan batu-batu yang semua ‎itu tunduk dan taat kepada Allah, tidak maksiat ‎kepada-Nya. Sedangkan orang-orang zaman kita, ‎disamping menyembah Allah mereka berdo’a kepada ‎orang-orang yang tergolong manusia paling fasiq, dan ‎orang-orang yang mereka seru itu justru orang-orang ‎yang mereka sebut-sebut sendiri banyak melakukan ‎kejelekan –kejelekan; mulai dari berzina, mencuri, ‎meninggalkan shalat dan lain-lain.

Orang yang beri’tiqad terhadap orang shalih dan ‎sesuatu yang tidak maksiat kepada Allah seperti kayu ‎dan pohon, tentunya lebih ringan dari pada orang yang ‎beri’tiqad terhadap orang yang ia sendiri melihat ‎kefasikan dan kerusakannya, dan ia menyaksikan ‎dengan jelas.‎

‎ Apabila sudah jelas bagi anda, bahwasanya orang-‎orang yang pernah diperangi Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam adalah ‎orang-orang yang paling ringan kesyirikannya dari ‎orang-orang musyrik sekarang, maka hendaklah anda ‎tahu, sesungguhnya mereka mempunyai syubhat yang ‎mereka kemukakan sebagai jawaban terhadap apa ‎yang sudah kami sebutkan, dan syubhat ini adalah ‎syubhat yang terbesar. Makanya pusat pendengaran ‎anda baik-baik terhadap jawaban dari syubhat itu

Sumber: Muwahiid

http://haulasyiah.wordpress.com/





KASYFU SYUBHAT 2

30 12 2008

Kasyfu Syubhat adalah kitab yg Mengungkap Kebathilan Argumen Penentang Tauhid(2)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –Rahimahullah- Berkata dalam Kitab Kasyfu Syubhat :

Kemudian apabila dia mengatakan:‎

‎“Saya tidak menyembah kecuali kepada Allah, ‎sedangkan berlindung kepada orang-orang shalih dan ‎berdo’a kepada mereka semacam ini bukanlah ibadah”.‎

Maka, katakan kepadanya: “bukankah kamu ‎mengakui, bahwasanya Allah telah mewajibkan ‎kepadamu pemurnian ibadah hanya untuk-Nya, dan ‎itu merupakan hak Dia atas kamu? Jika dia ‎menjawab: ya, maka katakan padanya: “Coba ‎terangkan kepadaku apa yang telah Allah wajibkan ‎kepadamu, yaitu: keikhlasan, kemurnian beribadah ‎hanya untuk Allah semata, dan itu merupakan hak ‎Allah atas kamu.” ‎

Sesungguhnya dia tidak akan tahu apa itu ibadah ‎dan apa macam-macamnya (‎ ‎). Untuk itu terangkanlah ‎hal itu kepadanya dengan ucapan anda: Allah subahanahu wa ta’ala telah ‎befirman:‎

‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ٱدۡعُواْ رَبَّكُمۡ تَضَرُّعً۬ا وَخُفۡيَةً‌ۚ ‏ ‏ ‏ ‏

‎ “Berdo’alah kepada Rabbmu dengan berendah diri ‎dan suara yang lembut.” (QS.Al A’raaf: 55).‎

‎ Lalu jika anda sudah memberi tahukan hal itu ‎kepadanya, maka katakan kepadanya: “apakah kamu ‎tahu, bahwa berdo’a itu merupakan ibadah kepada ‎Allah?‎

Maka, pasti dia akan mengatakan: ya, do’a itu ‎puncak ibadah. Lantas katakan kepadanya: “kalau ‎kamu sudah mengakui, bahwa do’a itu adalah ibadah ‎kepada Allah, dan kamu sendiri sudah berdo’a kepada ‎Allah sepanjang malam dan siang hari dengan rasa ‎takut dan harap, kemudian kamu berdo’a untuk ‎keperluan tertentu kepada seorang Nabi atau yang ‎lainnya; apakah bukan berarti kamu telah menjadikan ‎selain Allah sebagai sekutu Allah dalam beribadah ‎kepada-Nya? ‎

Maka, pasti dia akan menjawab: ya.‎

‎ Lalu katakan kepadanya lagi: “Apabila kamu sudah ‎mengamalkan firman Allah, di saat Dia berfirman:‎

‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ‏ ‏

‎“Maka dirikanlah shalat untuk Rabbmu, dan ‎sembelihlah kurban.” (QS. Al Kautsar: 2).‎

Dan kamu sudah taat kepada Allah serta sudah ‎pula menyembelih kurban untuk Dia; apakah hal ini ‎‎(bukan) merupakan ibadah?‎

Pasti ia akan menjawab: ya. ‎

Lantas katakan kepadanya: “jika kamu ‎menyembelih kurban demi untuk seseorang makhluk, ‎baik itu seorang nabi atau jin ataupun yang lainnya, ‎bukankah kamu sudah menjadikan selain Allah sekutu ‎bagi-Nya dalam beribadah kepada-Nya?. ‎

Dia pasti akan mengakui dan mengatakan: ya. Dan ‎katakan kepadanya lagi: “orang-orang musyrik -yang ‎mana Al-Qur’an telah turun menjelaskan tentang ‎keadaan mereka-, apakah mereka dulu senantiasa ‎menyembah malaikat, Orang-orang shalih, Al- Latta ‎dan yang lainya? ‎

Sudah pasti dia akan mengatakan: ya.‎

Maka katakan kepadanya: “bukankah ibadah ‎mereka kepada malaikat, orang-orang shalih dan yang ‎lain-lain itu hanya dalam bentuk do’a, penyembelihan ‎kurban, berlindung kepada mereka di saat ada ‎kebutuhan dan yang semacamnya? Jika tidak seperti ‎itu lalu apa? Mereka mengakui, bahwasanya mereka ‎adalah hamba-hamba Allah dan di bawah ‎kekuasaannya, dan bahwasanya Allah lah yang ‎mengatur segala urusan, namun mereka berdo’a ‎kepada malaikat, orang-orang shalih dan berlindung ‎kepada mereka karena mereka yakin bahwa yang ‎mereka puja itu memiliki jaah (kedudukan tinggi) dan ‎syafa’at, hal ini jelas sekali.‎

Kalau dia mengatakan: “Apakah engkau ‎mengingkari syafa’at Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berlepas diri ‎dari padanya?‎

‎ Maka jawablah: “Saya sama sekali tidak ‎mengingkari syafa’at itu, juga tidak berlepas diri ‎darinya, bahkan saya meyakini, bahwa beliau shalallahu ‘alaihi wasallam adalah ‎Asysyaafi’ (yang memberi syafa’at) dan Musyaffa’ ‎‎(mendapatkan hak memberi syafa’at dari Allah) dan ‎saya benar-benar mengharap syafa’at beliau itu, akan ‎tetapi, bagaimanapun juga semua syafa’at itu ‎kepunyaan Allah semata, sebagaimana yang ‎difirmanka-Nya:‎

‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ قُل لِّلَّهِ ٱلشَّفَـٰعَةُ جَمِيعً۬ا

Katakanlah:“Hanya kepunyaan Allah syafa’at itu ‎semua.” (QS. Az Zumar: 44).‎

Dan tidak akan ada syafa’at itu kecuali sesudah ‎mendapatkan izin dari Allah. Allah subahanahu wa ta’ala berfirman:‎

‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ مَن ذَا ٱلَّذِى يَشۡفَعُ عِندَهُ ۥۤ إِلَّا بِإِذۡنِ ‏ ‏ ‏ ‏

‎ “Siapa yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah ‎tanpa izin-Nya?” (QS. Al Baqarah: 255). ‎

Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tidak akan dapat memberi syafa’at ‎terhadap seseorang kecuali sesudah Allah mengizinkan ‎untuk memberi syafa’at kepada orang itu, sebagaimana ‎Allah telah berfirman:‎

وَلَا يَشۡفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ٱرۡتَضَ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏

‎“Dan mereka tidak memberi syafa’at melainkan ‎kepada orang yang diridhai Allah.” (QSAl-Anbiyaa’:28).‎

Sedangkan Allah sendiri hanya ridha kepada ‎tauhid.” Seperti yang difirmankan-Nya:‎

‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَـٰمِ دِينً۬ا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡ ‏

‎“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, ‎maka sekali-sekali tidaklah akan diterima (agama itu) ‎dari padanya.” (QS. Ali ‘Imran: 85).‎

Jadi, jika syafa’at itu semuanya kepunyaan Allah ‎dan tidak akan ada kecuali sesudah mendapatkan izin ‎Allah, sedang Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sendiri dan yang lainnya tidak ‎dapat memberi syafa’at terhadap seseorang sebelum ‎Allah mengizinkannya untuk memberi syafa’at kepada ‎seseorang itu, serta syafa’at itu hanya diizinkan untuk ‎ahli tauhid, maka dari sini menjadi jelas dan teranglah ‎bagi anda, bahwasanya syafa’at itu semuanya ‎kepunyaan Allah, dan saya akan memohon syafa’at itu ‎dari Dia. Untuk itu saya berdo’a: “Ya Allah, janganlah ‎engkau jadikan aku orang yang tak mendapatkan ‎bagian dari syafa’at Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, Ya Allah, berilah beliau ‎hak memberi syafa’at untukku,” dan do’a-do’a yang ‎sejenisnya”.‎

Apabila dia mengatakan: “Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah diberi hak ‎memberi syafa’at, lalu saya memohon kepada beliau shalallahu ‘alaihi wasallam ‎sebagian apa yang telah Allah berikan kepada beliau. ‎

Maka jawabannya sebagai berikut: “Sesungguhnya ‎Allah telah memberi beliau shalallahu ‘alaihi wasallam hak memberi syafa’at, ‎tetapi Dia melarang kamu berdo’a memohon kepada ‎Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Untuk itu Allah berfirman:‎

‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ فَلَا تَدۡعُواْ مَعَ ٱللَّهِ أَحَدً۬ا ‏ ‏ ‏

‎ “Maka janganlah kamu berdo’a kepada seseorang ‎disamping (berdoa kepada) Allah.” (QS. Al Jin:18).‎

Dan juga, bahwasanya syafa’at itu juga diberikan ‎kepada selain Nabi shallahu ‘alaihi wasallam, maka benar, bahwasanya para ‎malaikat akan memberi syafa’at. Begitu juga para wali ‎itu akan memberi syafa’at. Lalu, apakah kamu ‎mengatakan: “sesungguhnya Allah telah memberi ‎kepada mereka (yang disebut di atas) itu hak memberi ‎syafa’at, dan saya memohon syafa’at itu dari mereka, ‎jika kamu memang mengatakan (mengakui) begitu, ‎maka berarti kamu telah kembali kepada ‎penyembahan kepada orang shalih yang sudah ‎nyatakan Allah dalam kitab-Nya, akan tetapi jika kamu ‎mengatakan: Tidak, (tidak mengatakan seperti ucapan ‎di atas), maka menjadi batal-lah ucapanmu terdahulu: ‎‎“Allah telah memberi kepada beliau Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam hak ‎memberi syafa’at, lalu saya memohon kepada beliau ‎sebagian apa yang sudah Allah berikan padanya.”‎

Lalu, kalau dia mengatakan sama sekali tidak ‎mempersekutukan sesuatupun dengan Allah. Dan ‎sekali-kali tidak, akan tetapi, berlindung (iltija’) kepada ‎orang-orang shalih bukanlah perbuatan syirik. ‎

Maka katakan kepada dia,” jika kamu sudah ‎mengakui, bahwasanya Allah telah mengharamkan ‎syirik, itu melebihi dari pada mengharamkan zina, dan ‎kamu mengakui pula, bahwasanya Allah tidak akan ‎mengampuni dosa syirik, maka masalah apa yang ‎diharamkan Allah dan Dia sebut bahwasanya Dia tidak ‎akan mengampuninya itu? pasti dia tidak akan tahu. ‎Maka, katakan lagi kepadanya: “lantas bagaimana ‎kamu membebaskan dirimu dari melakukan syirik, ‎sementara kamu sendiri tidak mengetahui syirik itu. ‎Atau bagaimana Allah mengharamkan syirik itu atas ‎kamu dan Dia menyebut bahwasanya Dia tidak akan ‎mengampuni dosa syirik itu, sementara kamu tidak ‎menanyakan apa itu syirik dan tidak mengetahuinya. ‎Apakah kamu mengira, bahwa Allah mengharamkan ‎syirik, tapi tidak menerangkannya kepada kita?

sumber: muwahiid

http://haulasyiah.wordpress.com/





KASYFU SYUBHAT 1

30 12 2008

Kasyfu Syubhat adalah kitab yg Mengungkap Kebathilan Argumen Penentang Tauhid(1)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab-Rahimahullah- Berkata dalam kitab Kasyfu Syubhat:

Saya akan menuturkan kepada anda beberapa hal([1]) yang sudah disebut oleh Allah dalam kitab-Nya sebagai jawaban terhadap suatu ucapan yang dipakai hujjah oleh orang-orang musyrik pada zaman kami(yang ditujukan) kepada kami. Maka, kami akan katakan: Jawaban untuk para pengikut kebatilan itu ada dua cara:

1-Mujmal (secara global)

2-Mufashshal (secara terperinci).

Jawaban secara mujmal itu merupakan sesuatu yang agung dan merupakan pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mau memikirkannya. Hal itu adalah firman Allah I:

هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ مِنۡهُ ءَايَـٰتٌ۬ مُّحۡكَمَـٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلۡكِتَـٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَـٰبِهَـٰتٌ۬‌ۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِمۡ زَيۡغٌ۬ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَـٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَآءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦ‌ۗ وَمَا يَعۡلَمُ تَأۡوِيلَهُ ۥۤ إِلَّا ٱللَّهُ‌ۗ وَٱلرَّٲسِخُونَ فِى ٱلۡعِلۡمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلٌّ۬ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَا‌ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَـٰبِ

“Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu, diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan , maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat dari padanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari takwilnya”(QS. Ali Imran:7).

Sebuah hadits shahih (dalam shahih Bukhari dan muslim) dari ‘Asyiah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah e bersabda:

(( إِذَا رَأَيْتُمْ الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ مَاتَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكَ الَّذِيْنَ سَمَّى الله فَاحْذَرْهُمْ ))

“Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat, maka mereka itulah orang-orang yang disebut oleh Allah: (dengan sebutan “fi qulubihim zaigh”), maka waspadalah kalian terhadap mereka.”

Sebagai contoh atas hal itu, apabila sebagian orang-orang musyrik itu mengatakan kepada anda:

أَلَآ إِنَّ أَوۡلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS.Yunus: 62).

Dan bahwa Syafaat itu sesuatu yang haq (benar), dan bahwa para nabi itu mempunyai kedudukan dan tempat di sisi Allah. Atau sebagaimana orang musyrik itu menyebut suatu ucapan dari Nabi e yang ia gunakan dalil bagi suatu hal dari kebatilannya, sementara anda tidak mengerti makna ucapan yang ia sebut itu, maka hendaklah anda jawab dengan ucapan: “Sesungguhnya Allah I sudah menyebut bahwa orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, mereka meninggalkan ayat-ayat muhkamat dan mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat. Dan apa yang saya tuturkan kepadamu, bahwa Allah telah menyebut bahwa orang-orang musyrik itu sama mengakui tauhid rububiyah dan bahwa kekufuran mereka adalah dengan sebab ketergantungan mereka kepada malaikat, para nabi dan para wali, padahal mereka sekedar mengucapkan:

هَـٰٓؤُلَآءِ شُفَعَـٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّ

“Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.” (QS. Yunus:18).

Hal itu adalah merupakan sesuatu yang muhkam (baku, terang dan mudah difahami) lagi jelas, tidak seseorang pun kuasa untuk merubah maknanya. Dan apa yang kamu sebutkan kepada saya wahai orang musyrik, baik dari Al-Qur’an ataupun dari sabda Nabi e saya tidak tahu maknanya. Akan tetapi, saya yakin, bahwa kalam Allah tidak ada yang saling bertentangan. Dan sabda Nabi e sama sekali tidak bertentangan dengan kalam Allah. Itulah jawaban yang tepat. Akan tetapi jawaban itu hanya akan difahami oleh orang yang diberi taufiq oleh Allah I. Maka anda jangan menyepelekan hal itu. Sebab, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَمَا يُلَقَّٮٰهَآ إِلَّا ٱلَّذِينَ صَبَرُواْ وَمَا يُلَقَّٮٰهَآ إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ۬

“Dan (sifat-sifat yang baik itu) tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (Fushshilat: 35).

Adapun jawaban kedua yang mufashshal, ialah: bahwasanya musuh-musuh Allah itu mempunyai banyak dalil yang bersifat menentang untuk menghalangi manusia dari agama Allah. Diantaranya adalah ucapan mereka: “Kami tidak menyekutukan Allah, bahkan kami bersaksi bahwa tiada yang menciptakan, yang memberi rezeki, yang memberi manfaat dan tidak ada yang memberi madharat kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan kami bersaksi bahwa Nabi Muhammad e itu tidak berkuasa menarik manfa’at bagi dirinya dan tidak pula menolak kemudharatan, apalagi syaikh Abdul Qadir atau lainnya. Akan tetapi, saya orang yang berdosa, dan sementara orang-orang shalih itu mempunyai jaah (pangkat/kedudukan ) di sisi Allah. Maka saya memohon kepada Allah dengan perantara mereka([2]), Untuk itu anda harus jawab dengan jawaban yang sudah lewat(diatas), yaitu, bahwasanya orang-orang yang diperangi Rasulullah e mereka mengakui apa yang kamu sebutkan itu, mereka juga mengakui, bahwasanya berhala-berhala mereka tidak dapat mengatur urusan apapun, hanya saja mereka ingin dirinya kedudukan dan syafa’at (pertolongan), dan bacakan kepadanya dalil-dalil yang sudah disebutkan terdahulu oleh Allah dalam kitab-Nya([3]) serta sudah diperjelas oleh Nya.

Jika dia mengatakan: “ayat-ayat itu kan turun untuk menerangkan tentang orang-orang yang menyembah berhala-berhala, bagaimana kalian menyamakan orang-orang shalih itu dengan berhala?

Perkataan itu hendaklah anda jawab dengan apa yang sudah tertera di atas. Sebab, jika dia mengakui, bahwa orang-orang kafir itu bersaksi, bahwa seluruh Rububiyyah itu untuk Allah semata, dan mereka tidak menginginkan dari makhluk atau benda yang mereka tuju dalam pemujaan mereka itu selain syafa’at, hanya saja dia ingin sekedar membedakan antara perbuatan mereka dan perbuatannya dengan apa yang sudah ia tuturkan itu. Maka, katakan kepadanya bahwa diantara orang-orang kafir itu, ada yang berdo’a kepada orang-orang shalih dan berhala-berhala. Ada juga yang berdo’a kepada para wali, yang mana Allah I telah katakan tentang mereka:

أُوْلَـٰٓٮِٕكَ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ يَبۡتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلۡوَسِيلَةَ أَيُّہُمۡ أَقۡرَبُ

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb (Pemelihara) mereka. Siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah). (QS. Al-Isra’: 57).

Mereka berdo’a kepada Nabi “Isa bin Maryam dan ibunya, padahal Allah I sudah berfirman:

مَّا ٱلۡمَسِيحُ ٱبۡنُ مَرۡيَمَ إِلَّا رَسُولٌ۬ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُ وَأُمُّهُ ۥ صِدِّيقَةٌ۬‌ۖ ڪَانَا يَأۡڪُلَانِ ٱلطَّعَامَ‌ۗ ٱنظُرۡ ڪَيۡفَ نُبَيِّنُ لَهُمُ ٱلۡأَيَـٰتِ ثُمَّ ٱنظُرۡ أَنَّىٰ يُؤۡفَكُونَ

“Al-Masih (Isa) putera maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul. Dan ibunya seorang yang sangat benar, keduanya biasa memakan Makanan. Perhatikan bagaimana kita menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka dipalingkan (dari memperhatikan ayat-ayat itu).” (QS.Al –Maidah: 75).

Dan bacakan kepadanya firman Allah Ta’ala:

وَيَوۡمَ يَحۡشُرُهُمۡ جَمِيعً۬ا ثُمَّ يَقُولُ لِلۡمَلَـٰٓٮِٕكَةِ أَهَـٰٓؤُلَآءِ إِيَّاكُمۡ ڪَانُواْ يَعۡبُدُونَ

قَالُواْ سُبۡحَـٰنَكَ أَنتَ وَلِيُّنَا مِن دُونِهِمۖ بَلۡ كَانُواْ يَعۡبُدُونَ ٱلۡجِنَّۖ أَڪۡثَرُهُم بِہِم مُّؤۡمِنُونَ

“Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat: “apakah mereka ini dahulu menyembah kamu? “Malaikat-malaikat itu menjawab: maha suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka, bahkan mereka telah menyembah jin (syetan), kebanyakan mereka beriman kepada jin itu.” (QS. Saba’: 40-41).

Dan juga firman Allah Ta’ala:

يَـٰعِيسَى ٱبۡنَ مَرۡيَمَ ءَأَنتَ قُلۡتَ لِلنَّاسِ ٱتَّخِذُونِى وَأُمِّىَ إِلَـٰهَيۡنِ مِن دُونِ ٱللَّهِ‌ۖ قَالَ سُبۡحَـٰنَكَ مَا يَكُونُ لِىٓ أَنۡ أَقُولَ مَا لَيۡسَ لِى بِحَقٍّ

“Hai ‘Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: “jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?” menjawab (Isa):“Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya)”. (QS. Al-Maidah:116).

Lalu katakan padanya: “kamu kini sudah tahu, bahwa Allah telah mengkafirkan orang yang menujukan pemujaannya kepada berhala-berhala. Dan Allah telah mengkafirkan orang yang menujukan pemujaannya kepada orang-orang shalih, dan orang-orang yang semacam itu telah diperangi oleh Rasulullah e“.

Jika dia mengatakan: “Orang-orang kafirlah yang menginginkan dari orang-orang shalih itu, sedangkan saya bersaksi, bahwasanya Allah-lah yang memberi manfa’at, Yang memberi madharat, yang mengatur segala urusan. Saya tidak bermaksud kecuali Dia, sedangkan orang-orang shalih itu tidak memiliki kekuasaan apapun. Hanya saja saya bermaksud kepada mereka untuk mengharap dari Allah syafa’at mereka bagiku”.

Sebagai jawaban ucapan itu adalah: “bahwasanya ucapan seperti itu adalah sama persis dengan ucapan orang-orang kafir. Lantas bacakan kepadanya firman Allah Ta’ala:

وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُواْ مِن دُونِهِۦۤ أَوۡلِيَآءَ مَا نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلۡفَ

Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-sekatnya.” (QS. Az Zumar: 3).

Dan firman Allah Ta’ala:

هَـٰٓؤُلَآءِ شُفَعَـٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّ

“Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” (QS.Yunus:18).

Ketahuilah (wahai saudaraku seiman) bahwasanya ketiga syubhat (hujjah batil yang mereka anggap benar) itu([4]) adalah syubhat yang paling besar yang ada pada mereka, untuk itu jika anda sudah ketahui, bahwasanya Allah sudah menjelaskan tiga hal itu di dalam kitab-Nya, dan anda pun sudah memahaminya dengan pemahaman yang baik, maka berbagai syubhat selain itu akan terasa lebih mudah dibanding tiga syubhat di atas.

([1] ) Penulis rahimahullah ingin menerangkan keadaan–keadaan musuh-musuh Allah dan musuh-musuh para Rasul-Nya yang senantiasa menghadang pada jalan kepada pengetahuan tentang agama Allah serta menghalangi manusia dari jalan itu.

([2] ) Yakni dengan menjadikan orang-orang shalih itu sebagai washithah (perantara) antara dia dengan Allah Yang Maha Dekat lagi memperkenankan do’a hamba-hamba-Nya, hal ini yang ada pada para penyembah orang-orang mati, perbuatan itu kufur berdasarkan kesepakatan para ulama.

([3] ) Yakni ayat-ayat yang menunjukkan atas kekufuran orang-orang yang berdo’a kepada selain Allah baik itu orang-orang mati, batu dan lain-lain dengan penyembelihan- penyembelihan dan nadzar.

([4] ) Syubhat pertama: ucapan mereka: “kami tidak menyekutukan Allah”, kedua: ucapan mereka: “bahwa ayat-ayat itu turun tentang hal orang yang menyembah berhala,” dan syubhat yang ketiga: Ucapan mereka: “orang-orang kafir itulah yang menginginkan dari mereka ( orang-orang yang shaleh)…. Dst ( lihat diatas).

sumber: muwahiid

http://haulasyiah.wordpress.com/